Selasa, 16 Juli 2013

Dakwah Damai di Persimpangan

Matahari penanda hari ke enam bulan Ramadhan belum terbit benar, namun puluhan warga telah berkerumun di simpang empat Barito, perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Mereka menanti “Barito Berdakwah”, sebuah tausiah yang rutin dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan di persimpangan jalan itu.

Sumber: aku sendiri
Sembari menunggu penceramah yang sedang dalam perjalanan, panitia kegiatan mengedarkan kotak amal. Ka Ita Nyonyo, mungkin bukan nama sebenarnya, mendatangi setiap orang dengan membawa kardus bertuliskan Kotak POS (Puasa Orang Miskin), sementara lewat pelantang suara, seorang panitia mengajak warga berkumpul dan bersedekah.

Senin, 15 Juli 2013

Menerjemahkan Dua Soneta Pablo Neruda



Fortuna,
Dua sajak di bawah ini adalah sajak hasil terjemahan dari dua soneta milik Pablo Neruda. Dia adalah penyair Chile yang telah menulis ratusan puisi, termasuk 100 buah Soneta Cinta. Sebenarnya aku telah mencoba menerjemahkan sekitar sepuluh soneta, tapi cuma dua ini yang bisa selesai hingga ke larik terakhir. 

Penerjemahan aku lakukan di kala senggang, sekadar mengusir jenuh. Tentu karena aku tak begitu paham bahasa Spanyol--Bahasa yang digunakan Neruda-- maka aku meminta bantuan terjemahan Inggris versi Terrence Clarke. Berbekal google translate dan interpretasi yang mungkin agak berlebihan, jadilah dua terjemahan ini.

Sabtu, 13 Juli 2013

Dua Sajak yang Mendua



Dua Hal Berbeda

Aku dan gerimis
adalah dua hal berbeda
yang mencintai setiap helai rambutmu

Aku dan rembulan
adalah dua hal berbeda
yang berharap terjatuh dalam kolam matamu

Jumat, 12 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian V)


Ikan Kecil Berkacamata

Fortuna,

Perhelatan MIWF dimulai tatkala aku dan beberapa partisipan lain mengudara di beberapa stasiun radio di Makassar. Sejumlah nama yang ingin aku temui sudah tercentang. Namun dibanding daftarnya yang panjang, jumlah itu terbilang sedikit.

Aku mengudara di Radio SC FM. SC adalah singkatan dari Suara Celebes. Di radio ini aku dipasangkan dengan Maman Suherman, pembawa acara Mata Hati di KOMPAS TV. Bisa dikatakan aku dan bang Maman mencari nafkah di perusahaan yang sama. Kami berdua diwawancarai Wulan tentang beberapa hal. Sebagian besar soal kenangan tentang Kota Makassar, sebagian lagi soal apa yang akan kami lakukan sepanjang lima hari ke depan dalam MIWF.

Di Radio itu, aku membaca puisiku sendiri: “Pintu dan Tali Sepatu” sementara bang Maman membacakan sebuah puisi milik Wiji Thukul. Aku lupa apa judulnya. Dia membacakan puisi itu sebagai seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan si pembuat puisi. Wiji Thukul, adalah seorang penyair pemberani yang menghilang sejak negeri ini diguncang kisruh tahun 1998. Keberadaannya belum diketahui hingga kini.

Sepulang dari studio SC, aku berharap bisa kembali ke hotel untuk mandi. Waktu sudah menjelang Magrib, sementara tubuhku yang mulai gerah belum juga terkena air mandi segayung pun sejak kakiku menginjak tanah Makassar. Namun alih-alih ke hotel untuk mandi, panitia malah menggiringku dan bang Maman ke suatu gedung tinggi. Wisma Kalla namanya.

Selasa, 02 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian IV)


Meja Keramat

Fortuna,

Sudah hampir empat jam aku di Makassar, daftar nama-nama orang yang ingin aku temui belum satu pun ada yang tercentang. Aku semestinya telah mencentang salah satu, tapi kepalaku yang tak terlatih menghapal wajah ini mebuat aku abai mencentangnya. Siapa dia? Aku akan menceritakannya dalam alinea lain di surat ini. Sebelumnya aku akan menceritakan dahulu orang pertama yang namanya aku centang dalam daftarku.

Khrisna Pabichara. (Sumber: makassarwriters.com)
Orang pertama itu adalah Khrisna Pabichara, si penulis Sepatu Dahlan (Noura Books, 2012). Aku baru saja akan memasuki lift untuk kembali ke kamarku di lantai tiga, saat lelaki berkacamata itu memasuki lobi hotel bersama istri dan dua putrinya. Dia rupanya tak mengenali siapa diriku yang buru-buru keluar dari lift untuk menyalaminya. Dia pun bahkan tak mengenaliku saat kami duduk semeja di restoran hotel itu sekitar sejam kemudian.

Senin, 01 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian III)

Antara Puisi dan Syair

Fortuna,

Kemewahan tak melulu bisa membuat kita merasa betah dan nyaman. Apalagi jika kita hanya menikmatinya sendirian. Aku lupa menghitung sekian jam yang aku habiskan di tempat yang bagiku tergolong mewah itu. Dicky belum juga tiba. Di salah satu kamar Hotel Losari Metro aku bosan sendirian.

Sepi memagut, tak satu kuasa melepas-renggut. Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tiga penggal larik dari puisi berjudul "Hampa" yang aku kutip di atas mungkin ditulis oleh penyairnya dalam situasi yang sama denganku. Si penyair sendiri sudah lama mati. Dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di depan hotel yang aku tempati. Jalan Chairil Anwar.

Kira-kira, saat jam dinding hampir menunjukkan pukul 11.00 Wita, aku lalu memutuskan turun ke lobi hotel agar tak larut dalam kebosananku sendiri. Beberapa tamu MIWF terlihat sedang duduk mengaso. Sepertinya para penulis yang berasal dari luar negara ini. Aku menduga begitu, sebab mereka bercakap tidak dalam bahasa resmi negara ini, dan tidak dalam bahasa daerah kota ini.

Aku berkenalan dengan Qaisra Shahraz, penulis berdarah Pakistan yang saat ini menetap di kota Manchester. Sebuah kebetulan aku berkenalan dengannya saat aku sedang mengenakan seragam tandang Manchester United.
Qaisra Shahraz bersama Sapardi Djoko Damono (Sumber: makassarwriters.com)

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian II)

Selamat Pagi, Makassar

Fortuna,

Hari masih pagi sekali saat pesawatku mendarat di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Terlalu pagi untuk mengeluhkan sinar matahari di kota ini yang biasanya galak menampar kulit. Aku tiba di hari Selasa, 25 Juni 2013. Beberapa jam setelah insiden penyerangan salah stasiun televisi setempat yang dilakukan oleh sejumlah orang.

Konon, penyerangan itu terkait pilkada Kota Makassar. Di Gorontalo, kota yang baru saja aku tinggalkan, penyerangan terhadap stasiun televisi juga pernah terjadi. Bahkan sampai dua kali. Semuanya atas alasan politik.

Segera, setelah mengambil koper dari ban berjalan, aku memeriksa surat elektronik yang dikirimkan kepadaku dua malam sebelumnya oleh Ita Ibnu, Manajer MIWF. A driver with a MIWF sign will be waiting for you at the arrival gate, near the BNI Bank (on the left side). Begitu bunyi salah satu petunjuk yang diberikan Ita kepadaku. Sebagai penutur bahasa Inggris pas-pasan, aku cukup mampu menerjemahkan instruksi itu. Aku pun masih ingat, di mana letak bank yang dimaksudkannya berada.

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian I)

Panggilan Kedua

Fortuna,

Tidak ada satu pun manusia sentimentil di dunia ini yang sanggup menampik godaan kenangan. Itulah kira-kira yang aku pikirkan saat mengiyakan ajakan mengikuti Makassar International Festival (MIWF) 2013.

Semua berawal dari kabar mengejutkan seorang kawan di linimasa twitter. Lewat kicauannya, Dedy Tri Riyadi, nama kawanku itu, merilis link internet yang menghubungkanku ke sebuah pengumuman berisi enam nama penulis Indonesia Timur penerima fellowship dari Rumah Kebudayaan Rumata’. Namaku ada di antara enam nama tersebut. Sebagai penerima fellowship, aku dan lima orang penulis lain diundang menghadiri MIWF 2013.

Dua Sajak Tentang Hama

Fortuna,

Kau tentu tahu, manusia yang mengaku lebih cerdas selalu takut akan hewan-hewan kecil semacam semut, nyamuk, kecoa, tikus dan lain sebagainya. Manusia menyebut hewan-hewan kecil itu sebagai hama. Dan manusia selalu berupaya keras melenyapkan hama-hama tersebut dengan segala cara.

Ketakutan-ketakutan semacam itu menurutku adalah bukti betapa kerdilnya peradaban manusia. Betapa manusia selalu menjaga jarak dengan alam. Manusia menganggap sebagian hal yang berasal dari alam adalah sesuatu yang asing lagi menakutkan. Sesuatu yang mesti dijajah dan ditaklukkan.

Surat Pertama di Jatuh Kesekian

Fortuna,

Aku hanya ingin mengatakan selamat datang di kehidupanku. Mungkin kecanggungan sudah jadi kebiasaan setiap kita akan mengawali sesuatu. Itulah yang terjadi saat aku menuliskan surat pertamaku ini kepadamu. Jadi, maklumilah kegagapanku ini.