Minggu, 12 Januari 2014

Laki-laki dan Meja Kasir


:Arther

Waktu bagimu sama tajamnya dengan ujung paku
yang tanpa dendam menusuk lembar demi lembar
kwitansi dan faktur di atas meja kasir
Tempat kau mengkalkulasi sejumlah anasir takdir
Sembari menunjuk benda-benda
menyebut nama-nama
menyeka ingatan yang mengembun
di lensa kacamata

angka-angka kalender telah kau lingkari
pikiranmu menyisiri sunyi jalan puisi

Di belakang meja kasir itu kau percaya
puisi bisa lahir dari rumit neraca keuangan
lalu menghidupi cinta jarak jauh
yang sederhana
dan angan-angan

apa yang lebih cinta
dari puisi-puisimu yang merajah
tubuh kwitansi dan faktur
yang terhujam paku waktu di atas meja kasir itu?

Gorontalo, Juni 2013

Laki-laki dan Lemari


:Yudin

Setiap pagi, ada yang selalu menunggunya
terlontar dari mimpi. Yaitu seonggok lemari
Tak ada yang bisa menajamkan bau cat lemari itu
selain hitam yang mengelupas di sana-sini

Setiap pagi, selepas terlontar dari mimpi
dia akan berhadap-hadapan dengan lemari
Dia senang memandangi pantulan dirinya sendiri
lalu menebak-nebak apa yang akan terjadi
jika dia membuka lemari itu

Mungkinkah dia akan menemukan
sekaleng bir di dalam lemari?
Sebab setiap pagi bukanlah pagi
yang mengharuskannya terburu-buru mandi
dan berkemeja dengan kerah terlipat rapi

Mungkinkah dia akan menemukan sesosok peri
yang menjauhkan kedua tangannya dari anaknya sendiri
Atau dia akan menemukan seorang lelaki penakluk
yang melunak di hadapan ketiadaaan?

Lelaki yang sangat dia kenali
hingga ke setiap sel darah,
ke setiap serabut nadi

Pagi ini adalah pagi yang tak memaksanya terburu-buru mandi
Mungkin di dalam lemari, seorang perempuan patah hati
sedang menanti sambil menggenggam sebilah belati

Gorontalo, Juli 2013

Laki-laki dan Ikan-ikan




:Hasrul

Dia tak tahu, haruskah sedih atau gembira
Melihat ikan-ikan berenang di kamarnya
Berenang bersama buku-buku, kasur
dan pertanyaan tentang mengapa kutukan kali ini
harus terbuat dari air dan perasaan kehilangan

Banjir tak melulu salah hujan
Perasaan kehilangan tak selalu salah ikan-ikan
Pagi itu, tiga ekor mujair, tiga nila,
dan satu ikan mas sebesar lengannya
ingin mengucapkan kalimat-kalimat perpisahan

Dia tak tahu, haruskah sedih atau gembira
melihat ikan-ikan itu telah tetapkan tujuan
Mereka akan berangkat ke negeri yang tak kenal kail dan joran,
Ke negeri di mana cacing-cacing menolak jadi umpan

Dia sesungguhnya benci mengungsi
meski menjadi pengungsi tentu tak sama dengan
menjadi ikan-ikan yang tak punya tujuan

Di kamar itu, dia masih menatap ikan-ikan
yang sebentar lagi akan dijemput hujan

Dia lalu memunguti buku-bukunya yang basah
kemudian membuka pintu kamar
untuk bersiap mengungsi dari perasaan kehilangan

Gorontalo, Juni 2013

Laki-Laki dan Arloji




:Allan

Tak ada yang tahu, siapa yang menularkan kegelisahan itu kepadamu
Berulang kali kau melirik pergelangan tanganmu sendiri
Memeriksa jantungmu apakah masih berdetak dalam arloji

Apakah kau lupa meninggalkan pesan buat seseorang,
Pesan tentang jantungmu yang mulai tak kuat
menghadapi hidup yang mendebarkan?

“Halo, kakak Allan
Apakah kau masih mengingatku?”
Tanya seorang gadis di antara naskah berita
yang masih gagal kau rampungkan

Kau mencari gadis itu dalam ingatanmu sendiri
Di antara hal-hal serius dan hal-hal yang lebih nyata dari mimpi
Di antara mesin rindu dan ketakutan-ketakutan abadi

Sialan! Mengapa hidup harus semendebarkan ini?
Jantungmu tak kuat lagi,
meski detaknya masih terdengar meyakinkan dari dalam arloji

“Kakak, sampai hati kau melupakanku”
Ah, gadis itu lagi-lagi
Membuat segala hal di pikiranmu
–yang serius dan tak serius, yang mimpi dan bukan mimpi—
terbang seperti balon-balon gas

Apakah kau akan meninggalkan pesan untuknya?
Pesan berisi kata-kata penuh luka seperti
:jangan ganggu aku di kehidupan yang serius ini

Gorontalo, Juni 2013

Laki-Laki dan Matahari




:Syam


Di rumahmu, matahari memiliki kamarnya sendiri
Meski sesungguhnya dia masih takut tidur tanpa ditemani

Matahari itu, dan istrimu, kau merindukan mereka berdua setiap hari
Rindu yang tanpa sadar dimulai saban pagi
Saat dentangan jam delapan kali
merenggut hidup semua orang yang berstatus pegawai negeri

Di rumahmu, puisi memiliki keberaniannya sendiri
Juga harmonika yang akhir-akhir ini kerap lupa kau bawa serta
di acara-acara pembacaan puisi

Aku tahu kau sebenarnya sengaja lupa
sebab bagimu, puisi tak butuh diiringi nada-nada menyayat hati
Sebab kehidupan tak punya cukup ruang bagi terlalu banyak melankoli

Di rumahmu, kopi memiliki sihirnya sendiri
Bahkan ketika kopi itu mulai dingin dan merepet tentang hujan
Seperti buku-buku tua di perpustakaan kecilmu
yang rajin berbicara tentang kesetiaan
Seperti cermin besar di kamar tidurmu
yang bertanya tentang apa yang patut dan tidak patut
apakah seorang bintang panggung
memiliki keharusan memanjangkan rambut?

Syam, bangunlah. Di kamarnya matahari mulai merekah
Matahari lagi-lagi ingin meminta izin tak masuk sekolah

Sebab di rumahmu, matahari memiliki keinginannya sendiri
Sementara di sekolah, matahari tak memiliki banyak pilihan berarti

Gorontalo, Juni 2013