Saya
ingin mengajak Anda, para pembaca, tamasya sejenak ke sebuah ruangan. Sebutlah
bilik persegi yang cukup lapang, namun dingin dan kelam. Dinding-dindingnya
terbuat dari baja, tanpa jendela dan kedap suara. Anda duduk di satu kursi yang
nyaris tersandar pada sebidang dinding. Sebuah meja teronggok kurang lebih lima
meter jauhnya di hadapan Anda.
Seseorang kemudian masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu. Ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Ketika Anda bertanya, apa isi bungkusan tersebut? Ia menjawab: isinya adalah ketakutan terbesar Anda.
Seseorang kemudian masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu. Ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Ketika Anda bertanya, apa isi bungkusan tersebut? Ia menjawab: isinya adalah ketakutan terbesar Anda.
Adegan
di atas saya cuplik dari salah satu bagian dalam novel bergenre distopia
futuristik berjudul 1984 karya pengarang
Inggris, George Orwell (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Landung
Simatupang). Kamar 101, begitulah ruangan itu disebut, adalah sebuah tempat
penyiksaan bagi para penjahat pikiran: golongan pelaku kriminal yang dianggap
paling berbahaya di Negara Oceania.
Orwell
yang menulis novel ini tahun 1949, meramalkan dunia di masa depan akan terpecah
dalam tiga Adinegara (negara besar gabungan sejumlah negara yang lebih kecil):
Oceania, Eurasia dan Eastasia. Ketiganya terlibat dalam perang yang telah
berlangsung bertahun-tahun. Melalui Kementerian Kebenaran, Oceania setiap waktu
memproduksi propaganda berisi dusta dan menyebarkannya agar masyarakat yang
hidup jauh dari front-front pertempuran bisa menyokong peperangan dengan
sepenuh hati. “Kebenaran” didesain sesuai versi partai penguasa yang dipimpin
oleh seorang patron tunggal bernama Bung Besar.
Winston
Smith adalah lelaki menjelang paruh baya yang bekerja sebagai pegawai rendahan di
kementerian tersebut. Selama tujuh tahun ia menyimpan pergolakan nurani. Suatu
kali ia bergabung dengan sebuah gerakan bawah tanah yang berencana
menggulingkan oligarki. Namun sebelum sempat membuat tindakan nyata, polisi
rahasia negeri tersebut lebih dulu menangkapnya. Smith ditangkap karena
berpikir.
Smith
disiksa dengan berbagai jenis metode dan alat. Wajahnya bengkak, geliginya
rompal dan kepalanya nyaris botak. Di sela-sela siksaan yang brutal, anggota inti
partai memberinya ceramah panjang lebar perihal realitas, prinsip-prinsip
partai, dan bahaya pikiran bebas. Smith dicuci otaknya, diremukkan
kehormatannya, dan dicerabut rasa kemanusiaannya. Namun dalam berbulan-bulan
penyiksaan ada satu hal yang tak dapat dihapus dalam jiwanya: rasa cinta dan
rindunya kepada kekasih.
Rasa
cinta kepada selain Partai, rasa sayang kepada selain Bung Besar, adalah sebuah
subversi. Sebuah kejahatan tingkat tinggi. Perasaan-perasaan semacam itu hanya
bisa diuapkan melalui penyiksaan di kamar 101. Sebagai pesakitan, Smith
dihadapkan pada ketakutan terbesarnya: tikus.
Asumsi
yang dibangun oleh kamar 101 adalah: “Saat seseorang menghadapi ketakutan,
tidak ada hal lain yang terpikirkan selain diri sendiri.” Saya teringat pada
kondisi Bank Darah di kota saya, Gorontalo, yang hampir setiap hari kekurangan stok
karena banyak orang sehat terlampau takut melihat jarum transfusi. Saya
teringat orang-orang yang korupsi karena terlalu takut jatuh miskin. Takut terkucilkan
dari pergaulan sosial yang penuh gengsi.
Profesor
Psikologi asal Jerman, Franz Ruppert, pernah menjelaskan: “Akar dari rasa takut adalah
Die Störung menschlicher Beziehungen, rusaknya hubungan antar manusia.” Rasa
takut yang hebat terhadap tikus seperti yang dialami Smith berakar dari
rusaknya hubungan ia dengan manusia lain. Smith adalah manusia yang tercerabut dari
komunitasnya. Ia tak memiliki apa yang bisa dikatakan sebagai kawan, apalagi
sahabat. Dua ekor tikus besar dalam sangkar yang hampir saja menggegoroti
wajahnya hanyalah pencetus dari ketakutan yang sejak bertahun-tahun dipelihara
oleh rasa hampa.
David
H. Barlow dan V. Mark Durand memandang rasa takut dari sudut pandang yang lebih
optimis. Rasa takut, menurut mereka, adalah emosi yang dapat memberikan
motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Pendapat ini didasari
kenyataan bahwa perkakas-perkakas tercanggih sepanjang peradaban manusia justru
diciptakan pada masa perang. Pada masa-masa penuh ketakutan.
Filsuf
Perancis, Maurice Halbwach, menganggap ingatan manusia adalah ingatan
fragmentaris, kepingan kecil di antara cermin besar yang disebut ingatan
kolektif. Karenanya, tindakan mengingat adalah sebuah tindakan sosial, tindakan
yang dilakukan bersama dan dapat terarahkan. Pertanyaannya kemudian, ke arah
mana sebuah ingatan kolektif berisi ketakukan bisa melakukan perubahan?
Ingatan
kolektif kita yang dicekam ketakutan akan masa-masa kelam Orde Baru pernah berhasil
mencegah seorang mantan jenderal pelanggar HAM menduduki tampuk pimpinan negeri
ini. Semestinya ingatan dan rasa takut yang sama bisa menghukum para penjahat
HAM yang lain, yang tak kalah bengisnya.
***
Saya
perlu mengingatkan, tamasya kita belum berakhir. Anda masih duduk di sebuah
ruangan tanpa jendela. Kedap suara. Nyaris tak berdaya menghadapi sesuatu yang
paling Anda takutkan. Apakah Anda akan membiarkan rasa takut itu menggerogoti
rasa kemanusiaan Anda, ataukah Anda menjadikannya sebuah kekuatan untuk perubahan
positif?
Mungkin
ucapan Chypher Raige dalam film After
Earth berikut bisa sedikit membantu: “Danger
is real. Fear is a choice”.
- Dimuat di Kolom Literasi Koran Tempo Makassar, Kamis (02/10/14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar