Kamis, 02 Oktober 2014

Tentang Rasa Takut dan Tamasya di Kamar 101

                 Saya ingin mengajak Anda, para pembaca, tamasya sejenak ke sebuah ruangan. Sebutlah bilik persegi yang cukup lapang, namun dingin dan kelam. Dinding-dindingnya terbuat dari baja, tanpa jendela dan kedap suara. Anda duduk di satu kursi yang nyaris tersandar pada sebidang dinding. Sebuah meja teronggok kurang lebih lima meter jauhnya di hadapan Anda.      
                Seseorang kemudian masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu. Ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Ketika Anda bertanya, apa isi bungkusan tersebut? Ia menjawab: isinya adalah ketakutan terbesar Anda.

            Adegan di atas saya cuplik dari salah satu bagian dalam novel bergenre distopia futuristik berjudul 1984 karya pengarang Inggris, George Orwell (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang). Kamar 101, begitulah ruangan itu disebut, adalah sebuah tempat penyiksaan bagi para penjahat pikiran: golongan pelaku kriminal yang dianggap paling berbahaya di Negara Oceania.
           Orwell yang menulis novel ini tahun 1949, meramalkan dunia di masa depan akan terpecah dalam tiga Adinegara (negara besar gabungan sejumlah negara yang lebih kecil): Oceania, Eurasia dan Eastasia. Ketiganya terlibat dalam perang yang telah berlangsung bertahun-tahun. Melalui Kementerian Kebenaran, Oceania setiap waktu memproduksi propaganda berisi dusta dan menyebarkannya agar masyarakat yang hidup jauh dari front-front pertempuran bisa menyokong peperangan dengan sepenuh hati. “Kebenaran” didesain sesuai versi partai penguasa yang dipimpin oleh seorang patron tunggal bernama Bung Besar.
            Winston Smith adalah lelaki menjelang paruh baya yang bekerja sebagai pegawai rendahan di kementerian tersebut. Selama tujuh tahun ia menyimpan pergolakan nurani. Suatu kali ia bergabung dengan sebuah gerakan bawah tanah yang berencana menggulingkan oligarki. Namun sebelum sempat membuat tindakan nyata, polisi rahasia negeri tersebut lebih dulu menangkapnya. Smith ditangkap karena berpikir.
            Smith disiksa dengan berbagai jenis metode dan alat. Wajahnya bengkak, geliginya rompal dan kepalanya nyaris botak. Di sela-sela siksaan yang brutal, anggota inti partai memberinya ceramah panjang lebar perihal realitas, prinsip-prinsip partai, dan bahaya pikiran bebas. Smith dicuci otaknya, diremukkan kehormatannya, dan dicerabut rasa kemanusiaannya. Namun dalam berbulan-bulan penyiksaan ada satu hal yang tak dapat dihapus dalam jiwanya: rasa cinta dan rindunya kepada kekasih.
            Rasa cinta kepada selain Partai, rasa sayang kepada selain Bung Besar, adalah sebuah subversi. Sebuah kejahatan tingkat tinggi. Perasaan-perasaan semacam itu hanya bisa diuapkan melalui penyiksaan di kamar 101. Sebagai pesakitan, Smith dihadapkan pada ketakutan terbesarnya: tikus.
            Asumsi yang dibangun oleh kamar 101 adalah: “Saat seseorang menghadapi ketakutan, tidak ada hal lain yang terpikirkan selain diri sendiri.” Saya teringat pada kondisi Bank Darah di kota saya, Gorontalo, yang hampir setiap hari kekurangan stok karena banyak orang sehat terlampau takut melihat jarum transfusi. Saya teringat orang-orang yang korupsi karena terlalu takut jatuh miskin. Takut terkucilkan dari pergaulan sosial yang penuh gengsi.
            Profesor Psikologi asal Jerman, Franz Ruppert, pernah menjelaskan:Akar dari rasa takut adalah Die Störung menschlicher Beziehungen, rusaknya hubungan antar manusia.” Rasa takut yang hebat terhadap tikus seperti yang dialami Smith berakar dari rusaknya hubungan ia dengan manusia lain. Smith adalah manusia yang tercerabut dari komunitasnya. Ia tak memiliki apa yang bisa dikatakan sebagai kawan, apalagi sahabat. Dua ekor tikus besar dalam sangkar yang hampir saja menggegoroti wajahnya hanyalah pencetus dari ketakutan yang sejak bertahun-tahun dipelihara oleh rasa hampa.
            David H. Barlow dan V. Mark Durand memandang rasa takut dari sudut pandang yang lebih optimis. Rasa takut, menurut mereka, adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Pendapat ini didasari kenyataan bahwa perkakas-perkakas tercanggih sepanjang peradaban manusia justru diciptakan pada masa perang. Pada masa-masa penuh ketakutan.
            Filsuf Perancis, Maurice Halbwach, menganggap ingatan manusia adalah ingatan fragmentaris, kepingan kecil di antara cermin besar yang disebut ingatan kolektif. Karenanya, tindakan mengingat adalah sebuah tindakan sosial, tindakan yang dilakukan bersama dan dapat terarahkan. Pertanyaannya kemudian, ke arah mana sebuah ingatan kolektif berisi ketakukan bisa melakukan perubahan?
            Ingatan kolektif kita yang dicekam ketakutan akan masa-masa kelam Orde Baru pernah berhasil mencegah seorang mantan jenderal pelanggar HAM menduduki tampuk pimpinan negeri ini. Semestinya ingatan dan rasa takut yang sama bisa menghukum para penjahat HAM yang lain, yang tak kalah bengisnya.

***
            Saya perlu mengingatkan, tamasya kita belum berakhir. Anda masih duduk di sebuah ruangan tanpa jendela. Kedap suara. Nyaris tak berdaya menghadapi sesuatu yang paling Anda takutkan. Apakah Anda akan membiarkan rasa takut itu menggerogoti rasa kemanusiaan Anda, ataukah Anda menjadikannya sebuah kekuatan untuk perubahan positif?
            Mungkin ucapan Chypher Raige dalam film After Earth berikut bisa sedikit membantu: “Danger is real. Fear is a choice”.

- Dimuat di Kolom Literasi Koran Tempo Makassar, Kamis (02/10/14)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar