Fortuna,
Kau tentu tahu, manusia yang mengaku lebih cerdas selalu takut akan hewan-hewan kecil semacam semut, nyamuk, kecoa, tikus dan lain sebagainya. Manusia menyebut hewan-hewan kecil itu sebagai hama. Dan manusia selalu berupaya keras melenyapkan hama-hama tersebut dengan segala cara.
Ketakutan-ketakutan semacam itu menurutku adalah bukti betapa kerdilnya peradaban manusia. Betapa manusia selalu menjaga jarak dengan alam. Manusia menganggap sebagian hal yang berasal dari alam adalah sesuatu yang asing lagi menakutkan. Sesuatu yang mesti dijajah dan ditaklukkan.
Untuk para hama, aku membuat beberapa seri puisi tentang mereka. Puisi-puisi yang merekam beberapa kejadian saat aku menjadi saksi peperangan antara hama dan peradaban manusia. Aku baru menyelesaikan dua puisi. Mungkin akan ada puisi lain untuk hama yang lain lagi. Fortuna, semoga kau bisa menikmati.
Seekor Semut dan Kapur Ajaib yang Membunuhnya
Tak biasanya semut hitam yang mungil itu berjalan sendirian saja
Didekatinya setitik butiran putih yang diam di ujung sana
Dia berhenti saat mencium bahaya
Lalu berjalan kembali karena cinta membuatnya buta
"Apakah kau gula atau kimia jahat buatan manusia?"
Hanya sekali dia bertanya
Sebelum racun itu mengantarnya ke surga.
Gorontalo, Mei 2013
Seekor Nyamuk dan Cairan Wangi yang Membunuhnya
memuja cahaya bohlam yang belum berpijar benar
dia dan waktu adalah sesama binatang liar
tapi yang diisapnya cuma darah
sementara waktu mengisap segalanya
"surga terlalu dekat, terlalu pekat," ucapnya
saat wangi lavender mulai terurai di udara
Sayapnya kehilangan getar
Dia jatuh meninggalkan wajah waktu
yang tersenyum pudar
dia jatuh dan percaya
Letak surga bukan di langit sana
Gorontalo, Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar