Selasa, 02 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian IV)


Meja Keramat

Fortuna,

Sudah hampir empat jam aku di Makassar, daftar nama-nama orang yang ingin aku temui belum satu pun ada yang tercentang. Aku semestinya telah mencentang salah satu, tapi kepalaku yang tak terlatih menghapal wajah ini mebuat aku abai mencentangnya. Siapa dia? Aku akan menceritakannya dalam alinea lain di surat ini. Sebelumnya aku akan menceritakan dahulu orang pertama yang namanya aku centang dalam daftarku.

Khrisna Pabichara. (Sumber: makassarwriters.com)
Orang pertama itu adalah Khrisna Pabichara, si penulis Sepatu Dahlan (Noura Books, 2012). Aku baru saja akan memasuki lift untuk kembali ke kamarku di lantai tiga, saat lelaki berkacamata itu memasuki lobi hotel bersama istri dan dua putrinya. Dia rupanya tak mengenali siapa diriku yang buru-buru keluar dari lift untuk menyalaminya. Dia pun bahkan tak mengenaliku saat kami duduk semeja di restoran hotel itu sekitar sejam kemudian.

Memang, di luar media sosial, aku dan Khrisna tak begitu saling kenal, tapi di twitter, Khrisna adalah seorang penulis yang begitu rendah hati dan sudi berbalas-balas kicauan denganku. Saat masih di bandara, aku sempat mengiyakan ajakannnya lewat twitter untuk ngopi. Tak disangka, kami kemudian minum kopi bersama tanpa dia menyadarinya. Kami ngopi di restoran hotel. Tepatnya di sebuah meja bundar yang dilapisi taplak berwarna krem pudar. Selain aku dan Khrisna, di sekeliling meja yang sama juga duduk Aan Mansyur, Bernard Batubara, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono dan ibu Sonya, istri pak Sapardi.

Aku sendiri menyebut meja tersebut sebagai meja keramat. Sebutlah aku berlebihan, tapi orang-orang yang duduk melingkar di meja itu adalah orang-orang yang telah lama ingin aku temui. Mereka termasuk tokoh-tokoh keramat dalam dunia literasi indonesia. Akulah yang lebih dulu tiba di meja keramat itu. Sengaja aku cari meja terdekat dengan colokan agar aku bisa on-line lewat laptopku. 

Tak lama, Aan datang. Dia menjadi orang kedua yang namanya aku centang setelah Khrisna. Dia tak banyak berubah setelah sekira empat tahun kami tak bertemu. Dia tetap terlihat kurus, rambut tak terurus, dan raut wajahnya seperti seseorang yang kerap terlibat dalam masalah-masalah percintaan yang kelewat serius.

“Ini untukmu,” ucapnya sambil menyodorkan dua buah buku, sesaat setelah dia duduk. Aku meneliti dua buku yang diberinya:. sudahkah kau memeluk dirimu hari ini? dan tokoh-tokoh yang melawan kita dalam satu cerita (keduanya diterbitkan oleh penerbit Motion, 2012). Tentu saja dia memberikannya gratis, sama seperti kukila dan buku-buku yang dia tulis sebelumnya. Mendapatkan buku gratis adalah salah satu keuntungan berteman dengan penulis. Hehehehehe.
Aan dan Benz di Meja Keramat (Sumber: Jamil Massa)
Bernard Batubara kemudian bergabung bersama kami. Inilah kali pertama aku bertemu dengannya. Nama Bernard belakangan ini lebih dikenal Benzbara. Nama itu adalah nama penanya sebagai penulis novel yang banyak digandrungi gadis-gadis muda. Aku mengenal Benz sebelum ini lewat puisi-puisi yang dituliskannya. Bagiku, Benz adalah penyair yang memiliki imajinasi kelewat dahsyat untuk orang seumurnya. Ya, aku sebenarnya lebih mengenal Benz sebagai penyair, ketimbang prosais. Benz baru saja menerbitkan satu buku kumpulan cerpen, Milana (Gramedia, 2013). Kumpulan cerpen, yang menurut beberapa orang lebih nyastra ketimbang novel-novel yang ditulisnya.

Orang ketiga yang bergabung bersama kami adalah teman sekamar Benzbara, Joko Pinurbo. Dia dan Benz bergabung di meja bundar keramat itu hampir bersamaan. Joko Pinurbo, atau Jokpin, adalah seorang penyair yang puisi-puisinya sarat ironi. Dia adalah penyair yang terkenal suka memakai kata-kata tak puitis macam celana dan kamar mandi sebagai bagian dari diksi puisinya. Jokpin tergolong penyair yang puisi-puisinya sangat bisa aku nikmati.

Saat bertemu aku, Jokpin mengenakan kemeja hitam dengan aksentuasi hijau di beberapa bagian. Kemeja yang dia kenakan mengingatkanku pada seragam para pekerja alih daya yang kerap menjadi tenaga bersih-bersih di gedung perkantoran. Nah, sebenarnya, ketika mobil yang menjemputku dari bandara tiba di hotel, aku melihat seorang paruh baya berkemeja hitam-hijau sedang duduk merokok di teras hotel. Aku pikir dia adalah tukang bersih-bersih hotel yang sedang mengaso. Ternyata….. maaf, mas Jokpin. Maaf. :D

Jadi, Fortuna, Jokpin adalah orang pertama yang mestinya aku centang dalam daftarku. Dia juga adalah penyair yang membuatku bersemangat hadir di festival para penulis ini. Jokpin adalah penyair yang buku puisinya telah berulangkali terbit dan laris manis. Entah telah berapa ratus kali dia diundang di festival-festival sastra sebagai penceramah atau untuk membacakan puisi. Namun Jokpin tetaplah Jokpin yang rendah hati, sederhana, senang ngobrol dan suka melucu.

Aku, Aan, dan Jokpin berbincang sambil menikmati rokok masing-masing. Hanya Benz yang bukan perokok di antara kami. Perbincangan itu agak lama sebelum Khrisna datang dan menyapa kami berempat. Dia masih belum mengenaliku dan hanya memanggilku sebagai “hei” atau “abang” (hahahahaha). Kelak Khrisna mengakui, wajah dan namaku baru dikenalinya lewat buku program yang dibagikan panitia. “Jamil pale (ternyata)!” konon begitulah dia berseru saat dia menyadari keberadaanku.

Biasalah. Selebriti memang begitu. Sulit menghapal wajah penggemar. Hehehehehe.

Sapardi Djoko Damono adalah nama kelima yang aku centang dalam daftar di hari itu. Dia datang bersama ibu Sonya, istrinya, yang kata Aan, berdarah Manado. Tidak banyak hal yang kami bincangkan di meja bundar keramat itu. Kami hanya saling bertanya kabar masing-masing, berbincang soal buku-buku pak Sapardi yang diterbitkannya sendiri, soal kabut asap yang menganggu pandangan dan pernapasan orang-orang di Singapura dan Malaysia, serta soal keterlambatan pesawat yang ditumpangi Okky Madasari dan para tamu dari Kupang.
Kiri-kanan: Sapardi, Aan, Jokpin. (Sumber: makassarwriters.com)

Mendengar kabar keterlambatan teman-teman dari Kupang, aku merasa gelisah. Mereka juga termasuk orang-orang yang paling aku nanti. Pertama, karena kami adalah sesama penulis Indonesia Timur yang akan dipanel di beberapa sesi perhelatan ini. Kedua, karena aku telah mendengar segala hal hebat yang diceritakan para sastrawan senior seperti Jokpin dan Sapardi tentang mereka. Dan ketiga, karena salah satu di antara mereka adalah teman sekamarku.

Khrisna adalah orang pertama yang mengundurkan diri dari meja itu. Ada sedikit urusan rumah tangga katanya. Saat itu, dia masih juga belum mengenaliku--Buku program, baru dibagikan panitia beberapa waktu kemudian--

Pak Sapardi dan Ibu Sonya juga kemudian meninggalkan meja tersebut. Mereka sebenarnya baru tiba di hotel dan belum sempat menengok kamar. Aan dan Benz kemudian bubar setelahnya untuk menghadiri sesi wawancara di radio. Tinggallah aku bersama Jokpin melanjutkan perbincangan. Bertiga dengan suatu makhluk yang bernama kecanggungan.

Saat itu aku dan Jokpin agak susah mencari bahan obrolan. Aku pikir itu lazim. Hampir semua dua orang yang baru pertama  kali bertemu pasti akan terserang fase kecanggungan semacam yang aku rasakan saat itu. Namun dari perbincangan yang susah payah itu, Jokpin memberi aku petuah berguna. Dia misalnya berpesan agar aku segera menerbitkan buku puisiku sendiri, dan tidak terlalu terpaku pada kuasa Koran. Karya yang diterbitkan Koran menurutnya, tidak memiliki efek yang lebih dahsyat ketimbang karya yang diterbitkan dalam bentuk buku.

“Kalau karyamu masuk Koran, agak susah disimpan. Susah didokumentasikan. Coba kalau bentuknya buku. Kamu bisa mengirimkannya ke perpustakaan-perpustakaan, dibaca banyak orang termasuk anak-anak sekolah, dan bisa terdokumentasikan dengan baik,” ujar Jokpin.

Dia menambahkan, buku adalah kartu identitas seorang penulis. Di perhelatan sastra manapun, kualitas seorang pengarang dilihat dari bukunya. “Aku malah bikin buku dulu sebelum puisi-puisiku masuk Koran,” akunya.

Di sela-sela obrolan, si penyair memberitahu aku kalau Okky Madasari, novelis yang memenangi anugerah Khatulistiwa Literary Award untuk novel Maryam (Gramedia Pustaka Utama, 2012) sudah tiba  di Bandara Sultan Hasanuddin.

“Tapi belum ada yang menjemput,” ujarnya.

Dia sepertinya agak gelisah mendengar kabar yang diterimanya lewat sms itu. Namun dia masih berusaha melanjutkan perbincangannya denganku. Perbincangan semakin serius saat Hasrul, kawan sesama penggiat komunitas Tanggomo, singgah di restoran hotel tersebut. Hasrul kebetulan sedang berada di Makassar untuk petualangan yang berbeda.

Jokpin berpesan lagi, jangan pernah menghitung untung-rugi dalam menerbitkan sebuah buku. "Apalagi menerbitkan buku puisi. Pasti rugi," kata Jokpin. Tapi kerugian finansial itu bisa ditutupi dengan apreasiasi pembaca. Dan jiwa seorang penulis pasti akan merasa puas setelah bukunya terbit dan dibaca banyak orang.

Sekitar pukul 16.00, perbincangan yang mulai cair itu terpaksa harus terpotong. Wulan, seorang penyiar salah satu stasiun radio di Makassar menjemputku. Sore itu, aku memang dijadwalkan mengikuti sesi “Sastra di Udara” yang berisi wawancara dan pembacaan karya di radio. Aku dan Hasrul pamit kepada Jokpin. Kami meninggalkan si penyair bersama kegelisahannya.

“Masih belum ada yang menjemput Okky,” kata si penyair sebelum aku meninggalkannya di meja keramat itu.

Bersambung…….

1 komentar: