Meja Keramat
Fortuna,
Sudah hampir empat jam aku di Makassar, daftar nama-nama
orang yang ingin aku temui belum satu pun ada yang tercentang. Aku semestinya
telah mencentang salah satu, tapi kepalaku yang tak terlatih menghapal wajah
ini mebuat aku abai mencentangnya. Siapa dia? Aku akan menceritakannya dalam
alinea lain di surat ini. Sebelumnya aku akan menceritakan dahulu orang pertama
yang namanya aku centang dalam daftarku.
Khrisna Pabichara. (Sumber: makassarwriters.com) |
Orang pertama itu adalah Khrisna Pabichara, si penulis Sepatu Dahlan (Noura Books, 2012). Aku baru saja akan memasuki lift untuk kembali ke kamarku di lantai
tiga, saat lelaki berkacamata itu memasuki lobi
hotel bersama istri dan dua putrinya. Dia rupanya tak mengenali siapa diriku
yang buru-buru keluar dari lift untuk menyalaminya. Dia pun bahkan tak
mengenaliku saat kami duduk semeja di restoran hotel itu sekitar sejam kemudian.
Memang, di luar media sosial, aku dan Khrisna tak begitu
saling kenal, tapi di twitter, Khrisna adalah seorang penulis yang begitu
rendah hati dan sudi berbalas-balas kicauan denganku. Saat masih di bandara, aku
sempat mengiyakan ajakannnya lewat twitter untuk ngopi. Tak disangka, kami kemudian minum kopi bersama tanpa dia
menyadarinya. Kami ngopi di restoran hotel. Tepatnya di sebuah meja bundar yang dilapisi taplak berwarna krem pudar. Selain aku dan Khrisna, di sekeliling meja yang sama juga duduk Aan Mansyur,
Bernard Batubara, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono dan ibu Sonya, istri pak
Sapardi.
Aku sendiri menyebut meja tersebut sebagai meja keramat. Sebutlah aku berlebihan, tapi orang-orang yang duduk melingkar di meja itu adalah orang-orang yang telah lama ingin aku temui. Mereka termasuk tokoh-tokoh keramat dalam dunia literasi indonesia. Akulah yang lebih dulu tiba di meja keramat
itu. Sengaja aku cari meja terdekat dengan colokan agar aku bisa on-line lewat laptopku.
Tak lama, Aan
datang. Dia menjadi orang kedua yang namanya aku centang setelah Khrisna. Dia tak
banyak berubah setelah sekira empat tahun kami tak bertemu. Dia tetap terlihat
kurus, rambut tak terurus, dan raut wajahnya seperti seseorang yang kerap terlibat dalam masalah-masalah percintaan yang kelewat serius.
“Ini untukmu,” ucapnya sambil menyodorkan dua buah buku, sesaat setelah dia duduk. Aku meneliti
dua buku yang diberinya:. sudahkah kau
memeluk dirimu hari ini? dan tokoh-tokoh
yang melawan kita dalam satu cerita (keduanya diterbitkan oleh penerbit
Motion, 2012). Tentu saja dia memberikannya gratis, sama seperti kukila dan buku-buku yang dia tulis sebelumnya.
Mendapatkan buku gratis adalah salah satu keuntungan berteman dengan penulis. Hehehehehe.
Aan dan Benz di Meja Keramat (Sumber: Jamil Massa) |
Orang ketiga yang bergabung bersama kami adalah teman
sekamar Benzbara, Joko Pinurbo. Dia dan Benz bergabung di meja bundar keramat
itu hampir bersamaan. Joko Pinurbo, atau
Jokpin, adalah seorang penyair yang puisi-puisinya sarat ironi. Dia adalah
penyair yang terkenal suka memakai kata-kata tak puitis macam celana dan kamar
mandi sebagai bagian dari diksi puisinya. Jokpin tergolong penyair yang puisi-puisinya sangat bisa aku nikmati.
Saat bertemu aku, Jokpin mengenakan kemeja hitam dengan
aksentuasi hijau di beberapa bagian. Kemeja yang dia kenakan mengingatkanku pada
seragam para pekerja alih daya yang kerap menjadi tenaga bersih-bersih di gedung perkantoran. Nah, sebenarnya, ketika mobil yang menjemputku dari bandara tiba
di hotel, aku melihat seorang paruh baya berkemeja hitam-hijau sedang duduk
merokok di teras hotel. Aku pikir dia adalah tukang bersih-bersih hotel yang sedang mengaso. Ternyata….. maaf, mas Jokpin. Maaf. :D
Jadi, Fortuna, Jokpin adalah orang pertama yang mestinya aku
centang dalam daftarku. Dia juga adalah penyair yang membuatku bersemangat hadir di festival para penulis ini. Jokpin adalah penyair yang buku puisinya telah
berulangkali terbit dan laris manis. Entah telah berapa ratus kali dia diundang
di festival-festival sastra sebagai penceramah atau untuk membacakan puisi. Namun
Jokpin tetaplah Jokpin yang rendah hati, sederhana, senang ngobrol dan suka
melucu.
Aku, Aan, dan Jokpin berbincang sambil menikmati rokok masing-masing. Hanya Benz yang bukan perokok di antara kami. Perbincangan itu agak lama sebelum
Khrisna datang dan menyapa kami berempat. Dia masih belum mengenaliku dan hanya
memanggilku sebagai “hei” atau “abang” (hahahahaha). Kelak Khrisna mengakui,
wajah dan namaku baru dikenalinya lewat buku program yang dibagikan panitia. “Jamil
pale (ternyata)!” konon begitulah dia berseru saat
dia menyadari keberadaanku.
Biasalah. Selebriti memang begitu. Sulit menghapal
wajah penggemar. Hehehehehe.
Sapardi Djoko Damono adalah nama kelima yang aku centang
dalam daftar di hari itu. Dia datang bersama ibu Sonya, istrinya, yang kata Aan,
berdarah Manado. Tidak banyak hal yang kami bincangkan di meja bundar keramat
itu. Kami hanya saling bertanya kabar masing-masing, berbincang soal buku-buku
pak Sapardi yang diterbitkannya sendiri, soal kabut asap yang menganggu
pandangan dan pernapasan orang-orang di Singapura dan Malaysia, serta soal
keterlambatan pesawat yang ditumpangi Okky Madasari dan para tamu dari Kupang.
Mendengar kabar keterlambatan teman-teman dari Kupang, aku
merasa gelisah. Mereka juga termasuk orang-orang yang paling aku nanti. Pertama, karena kami adalah sesama penulis Indonesia Timur yang akan dipanel di beberapa sesi perhelatan ini. Kedua, karena aku
telah mendengar segala hal hebat yang diceritakan para sastrawan senior
seperti Jokpin dan Sapardi tentang mereka. Dan ketiga, karena salah satu di
antara mereka adalah teman sekamarku.
Khrisna adalah orang pertama yang mengundurkan diri dari
meja itu. Ada sedikit urusan rumah tangga katanya. Saat itu, dia masih juga belum mengenaliku--Buku program, baru dibagikan panitia beberapa waktu kemudian--
Pak Sapardi dan Ibu Sonya juga kemudian meninggalkan meja tersebut. Mereka sebenarnya baru tiba di hotel dan belum sempat menengok kamar. Aan dan Benz kemudian bubar setelahnya untuk menghadiri sesi wawancara di radio. Tinggallah aku bersama Jokpin melanjutkan perbincangan. Bertiga dengan suatu makhluk yang bernama kecanggungan.
Pak Sapardi dan Ibu Sonya juga kemudian meninggalkan meja tersebut. Mereka sebenarnya baru tiba di hotel dan belum sempat menengok kamar. Aan dan Benz kemudian bubar setelahnya untuk menghadiri sesi wawancara di radio. Tinggallah aku bersama Jokpin melanjutkan perbincangan. Bertiga dengan suatu makhluk yang bernama kecanggungan.
Saat itu aku dan Jokpin agak susah mencari bahan obrolan. Aku
pikir itu lazim. Hampir semua dua orang yang baru pertama kali bertemu pasti akan terserang fase
kecanggungan semacam yang aku rasakan saat itu. Namun dari perbincangan yang susah payah itu, Jokpin memberi aku petuah berguna. Dia misalnya berpesan agar aku
segera menerbitkan buku puisiku sendiri, dan tidak terlalu terpaku pada kuasa Koran.
Karya yang diterbitkan Koran menurutnya, tidak memiliki efek yang lebih dahsyat
ketimbang karya yang diterbitkan dalam bentuk buku.
“Kalau karyamu masuk Koran, agak susah disimpan. Susah didokumentasikan.
Coba kalau bentuknya buku. Kamu bisa mengirimkannya ke
perpustakaan-perpustakaan, dibaca banyak orang termasuk anak-anak sekolah, dan
bisa terdokumentasikan dengan baik,” ujar Jokpin.
Dia menambahkan, buku adalah kartu identitas seorang penulis. Di
perhelatan sastra manapun, kualitas seorang pengarang dilihat dari bukunya. “Aku
malah bikin buku dulu sebelum puisi-puisiku masuk Koran,” akunya.
Di sela-sela obrolan, si penyair memberitahu aku kalau Okky
Madasari, novelis yang memenangi anugerah Khatulistiwa Literary Award untuk
novel Maryam (Gramedia Pustaka Utama, 2012) sudah tiba di Bandara Sultan Hasanuddin.
“Tapi belum ada yang menjemput,” ujarnya.
Dia sepertinya agak gelisah mendengar kabar yang diterimanya
lewat sms itu. Namun dia masih berusaha melanjutkan perbincangannya denganku. Perbincangan
semakin serius saat Hasrul, kawan sesama penggiat komunitas Tanggomo, singgah
di restoran hotel tersebut. Hasrul kebetulan sedang berada di Makassar untuk petualangan yang berbeda.
Jokpin berpesan lagi, jangan pernah menghitung untung-rugi dalam menerbitkan sebuah buku. "Apalagi menerbitkan buku puisi. Pasti rugi," kata Jokpin. Tapi kerugian finansial itu bisa ditutupi dengan apreasiasi pembaca. Dan jiwa seorang penulis pasti akan merasa puas setelah bukunya terbit dan dibaca banyak orang.
Jokpin berpesan lagi, jangan pernah menghitung untung-rugi dalam menerbitkan sebuah buku. "Apalagi menerbitkan buku puisi. Pasti rugi," kata Jokpin. Tapi kerugian finansial itu bisa ditutupi dengan apreasiasi pembaca. Dan jiwa seorang penulis pasti akan merasa puas setelah bukunya terbit dan dibaca banyak orang.
Sekitar pukul 16.00, perbincangan yang mulai cair itu terpaksa harus
terpotong. Wulan, seorang penyiar salah satu stasiun radio di Makassar
menjemputku. Sore itu, aku memang dijadwalkan mengikuti sesi “Sastra di Udara”
yang berisi wawancara dan pembacaan karya di radio. Aku dan Hasrul pamit kepada
Jokpin. Kami meninggalkan si penyair bersama kegelisahannya.
“Masih belum ada yang menjemput Okky,” kata si penyair
sebelum aku meninggalkannya di meja keramat itu.
Bersambung…….
ea.. bang Jamil ji
BalasHapus