Selamat Pagi, Makassar
Fortuna,
Hari masih pagi sekali saat pesawatku mendarat di Bandar
Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Terlalu pagi untuk mengeluhkan sinar
matahari di kota ini yang biasanya galak menampar kulit. Aku tiba di hari Selasa, 25 Juni 2013. Beberapa jam setelah insiden penyerangan salah stasiun televisi setempat yang dilakukan oleh sejumlah orang.
Konon, penyerangan itu terkait pilkada Kota Makassar. Di Gorontalo, kota yang baru saja aku tinggalkan, penyerangan terhadap stasiun televisi juga pernah terjadi. Bahkan sampai dua kali. Semuanya atas alasan politik.
Segera, setelah mengambil koper dari ban berjalan, aku memeriksa surat elektronik yang dikirimkan kepadaku dua malam sebelumnya oleh Ita Ibnu, Manajer MIWF. A driver with a MIWF sign will be waiting for you at the arrival gate, near the BNI Bank (on the left side). Begitu bunyi salah satu petunjuk yang diberikan Ita kepadaku. Sebagai penutur bahasa Inggris pas-pasan, aku cukup mampu menerjemahkan instruksi itu. Aku pun masih ingat, di mana letak bank yang dimaksudkannya berada.
Konon, penyerangan itu terkait pilkada Kota Makassar. Di Gorontalo, kota yang baru saja aku tinggalkan, penyerangan terhadap stasiun televisi juga pernah terjadi. Bahkan sampai dua kali. Semuanya atas alasan politik.
Segera, setelah mengambil koper dari ban berjalan, aku memeriksa surat elektronik yang dikirimkan kepadaku dua malam sebelumnya oleh Ita Ibnu, Manajer MIWF. A driver with a MIWF sign will be waiting for you at the arrival gate, near the BNI Bank (on the left side). Begitu bunyi salah satu petunjuk yang diberikan Ita kepadaku. Sebagai penutur bahasa Inggris pas-pasan, aku cukup mampu menerjemahkan instruksi itu. Aku pun masih ingat, di mana letak bank yang dimaksudkannya berada.
Dan seperti di kebanyakan bandara, ada puluhan sopir taksi
berseliweran menawarkan jasa. “Maaf pak, saya sudah punya jemputan,” ujarku berulang-kali
kepada para supir taksi yang gigih itu. Aku sendiri dengan sabar dan patuh menunggu
jemputan di depan bank di samping kiri pintu kedatangan bandara. Meski beberapa sopir taksi masih tak lelah-lelahnya memintaku berhenti menunggu.
Aku telah menghabiskan dua batang rokok, namun penjemputku
belum juga datang. Ita sudah aku hubungi, dan dia katanya sedang berusaha
menghubungi para sopir yang ditugaskan menjemputku. Aku terus menunggu dan mulai
berpikir: sepertinya ada yang salah.
Di sisi kanan pintu kedatangan aku melihat seorang lelaki berumur sekitar empat puluhan, mengacung-acungkan secarik karton bertuliskan sesuatu. Dia berdiri di titik yang tak tergapai jarak pandangku. Pikiranku terus mengulang-ulang kalimat "Pasti ada yang salah".
Aku lalu berkeliling agak jauh, mendekati bapak itu. Dan benar saja. Bapak yang kemudian aku ketahui bernama Pak Hamzah itu rupanya tengah menungguku. Secarik karton yang diacungkannya bertuliskan "MIWF" dan namaku
"Bapak pasti sedang menunggu saya," kataku sambil mencolek bahunya. "Saya berdiri di depan BNI sejak dua batang rokok yang lalu."
Aku lalu berkeliling agak jauh, mendekati bapak itu. Dan benar saja. Bapak yang kemudian aku ketahui bernama Pak Hamzah itu rupanya tengah menungguku. Secarik karton yang diacungkannya bertuliskan "MIWF" dan namaku
"Bapak pasti sedang menunggu saya," kataku sambil mencolek bahunya. "Saya berdiri di depan BNI sejak dua batang rokok yang lalu."
Dia meminta maaf, dan menjelaskan mengapa dia
berdiri di sisi yang salah. “Banyak tamu yang belok kanan, tidak belok kiri dari pintu kedatangan. Mereka ragu, karena di papan petunjuk bandara tertulis sisi kiri untuk taksi dan tamu VIP,” tuturnya dalam perjalanan kami menuju mobil. Penjelasan yang sebenarnya tak kupahami benar. Ah, saat itu aku
juga sebenarnya tidak sedang buru-buru. Penjelasan pak Hamzah yang tak kupahami benar itu sebenarnya tak terlalu
menggangguku.
Patung Ayam Pasar Daya. (Sumber: @h_a_t_t_a) |
Aku tiba di hotel Losari Metro. Kamarku di lantai tiga. Aku berbagi
kamar dengan Christian Dicky Senda, penulis dari Kupang, NTT. Tiba di kamar,
aku sendirian, karena Dicky dan rombongan dari Kupang belum tiba di bandara. Aku memeriksa
blackberry butut milikku. Memeriksa apakah ada pesan yang masuk via sms, bbm, facebook atau twitter. Ada satu kicauan
di linimasa twitter yang menyebut nama akunku. Kicauan tersebut mengabarkan
kedatanganku di hotel itu. Rupanya itu kicauan milik seorang panitia yang kelak
aku kenal bernama Pepen.
Aku memeriksa pesan-pesan lain. Sebagian besar berisi
pertanyaan-pertanyaan dari ibu, ayah dan beberapa kawan tentang apakah aku
telah tiba dengan selamat, dan menginap di hotel mana.
Tiba-tiba datanglah sms darinya. Gadis itu, yang pernah
menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga tahun sebagai pacarku. Dia sedang
tinggal di Makassar untuk menyelesaikan studinya yang belum kelar. Dia sebenarnya
adalah satu nama yang ingin kutemui di kota itu. Aku pikir, kami mungkin masih
memiliki peluang untuk bersama kembali.
Dia mengirim sms berisi pertanyaan apakah aku sudah tiba? Apakah
aku membawakan titipan ibuku untuknya? Aku balas dengan sms juga: “Aku sudah
tiba. Titipan ibu belum sempat aku bawa. Mungkin ibu akan mengirimkannya
sendiri lewat jasa pengiriman berbayar.”
Dia tak lagi mejawab sms tersebut. Dan hingga hari terakhir
aku berada di Makassar, dia tak menemuiku atau mengirimkan sms lain. Aku sempat mendengar
kabar kalau telepon genggamnya hilang, sehari setelah aku tiba di Makassar. Ah,
mungkin takdir telah berhenti berupaya menyatukan kami kembali.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar