Senin, 01 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian II)

Selamat Pagi, Makassar

Fortuna,

Hari masih pagi sekali saat pesawatku mendarat di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Terlalu pagi untuk mengeluhkan sinar matahari di kota ini yang biasanya galak menampar kulit. Aku tiba di hari Selasa, 25 Juni 2013. Beberapa jam setelah insiden penyerangan salah stasiun televisi setempat yang dilakukan oleh sejumlah orang.

Konon, penyerangan itu terkait pilkada Kota Makassar. Di Gorontalo, kota yang baru saja aku tinggalkan, penyerangan terhadap stasiun televisi juga pernah terjadi. Bahkan sampai dua kali. Semuanya atas alasan politik.

Segera, setelah mengambil koper dari ban berjalan, aku memeriksa surat elektronik yang dikirimkan kepadaku dua malam sebelumnya oleh Ita Ibnu, Manajer MIWF. A driver with a MIWF sign will be waiting for you at the arrival gate, near the BNI Bank (on the left side). Begitu bunyi salah satu petunjuk yang diberikan Ita kepadaku. Sebagai penutur bahasa Inggris pas-pasan, aku cukup mampu menerjemahkan instruksi itu. Aku pun masih ingat, di mana letak bank yang dimaksudkannya berada.

Dan seperti di kebanyakan bandara, ada puluhan sopir taksi berseliweran menawarkan jasa. “Maaf pak, saya sudah punya jemputan,” ujarku berulang-kali kepada para supir taksi yang gigih itu. Aku sendiri dengan sabar dan patuh menunggu jemputan di depan bank di samping kiri pintu kedatangan bandara. Meski beberapa sopir taksi masih tak lelah-lelahnya memintaku berhenti menunggu.

Aku telah menghabiskan dua batang rokok, namun penjemputku belum juga datang. Ita sudah aku hubungi, dan dia katanya sedang berusaha menghubungi para sopir yang ditugaskan menjemputku. Aku terus menunggu dan mulai berpikir: sepertinya ada yang salah.

Di sisi kanan pintu kedatangan aku melihat seorang lelaki berumur sekitar empat puluhan, mengacung-acungkan secarik karton bertuliskan sesuatu. Dia berdiri di titik yang tak tergapai jarak pandangku. Pikiranku terus mengulang-ulang kalimat "Pasti ada yang salah".

Aku lalu berkeliling agak jauh, mendekati bapak itu. Dan benar saja. Bapak yang kemudian aku ketahui bernama Pak Hamzah itu rupanya tengah menungguku. Secarik karton yang diacungkannya bertuliskan "MIWF" dan namaku

"Bapak pasti sedang menunggu saya," kataku sambil mencolek bahunya. "Saya berdiri di depan BNI sejak dua batang rokok yang lalu."

Dia meminta maaf, dan menjelaskan mengapa dia berdiri di sisi yang salah. “Banyak tamu yang belok kanan, tidak belok kiri dari pintu kedatangan. Mereka ragu, karena di papan petunjuk bandara tertulis sisi kiri untuk taksi dan tamu VIP,” tuturnya dalam perjalanan kami menuju mobil. Penjelasan yang sebenarnya tak kupahami benar. Ah, saat itu aku juga sebenarnya tidak sedang buru-buru. Penjelasan pak Hamzah yang tak kupahami benar itu sebenarnya tak terlalu menggangguku.

Patung Ayam Pasar Daya. (Sumber: @h_a_t_t_a)
Pak Hamzah menjalankan mobil dari bandara ke hotel melewati jalan tol. Sesuatu yang sebenarnya agak kusayangkan. Aku ingin melihat jalan-jalan, pasar-pasar, dan aktivitas-aktivitas warga yang akrab denganku saat aku masih mahasiswa di kota ini dahulu. Pasar Daya lengkap dengan patung ayamnya, Gedung Kampus Unhas yang konon bertambah kejam dengan kebijakan-kebijakannya, warung-warung coto Makassar, toko-toko kecil yang menjual buku, alat tulis, dan perlengkapan mendaki, dan segala hal lain yang tersedia di sepanjang tepi Jalan Perintis Kemerdekaan dan Urip Sumohardjo.

Aku tiba di hotel Losari Metro. Kamarku di lantai tiga. Aku berbagi kamar dengan Christian Dicky Senda, penulis dari Kupang, NTT. Tiba di kamar, aku sendirian, karena Dicky dan rombongan dari Kupang belum tiba di bandara. Aku memeriksa blackberry butut milikku. Memeriksa apakah ada pesan yang masuk via sms, bbm, facebook atau twitter. Ada satu kicauan di linimasa twitter yang menyebut nama akunku. Kicauan tersebut mengabarkan kedatanganku di hotel itu. Rupanya itu kicauan milik seorang panitia yang kelak aku kenal bernama Pepen.

Aku memeriksa pesan-pesan lain. Sebagian besar berisi pertanyaan-pertanyaan dari ibu, ayah dan beberapa kawan tentang apakah aku telah tiba dengan selamat, dan menginap di hotel mana.

Tiba-tiba datanglah sms darinya. Gadis itu, yang pernah menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga tahun sebagai pacarku. Dia sedang tinggal di Makassar untuk menyelesaikan studinya yang belum kelar. Dia sebenarnya adalah satu nama yang ingin kutemui di kota itu. Aku pikir, kami mungkin masih memiliki peluang untuk bersama kembali.

Dia mengirim sms berisi pertanyaan apakah aku sudah tiba? Apakah aku membawakan titipan ibuku untuknya? Aku balas dengan sms juga: “Aku sudah tiba. Titipan ibu belum sempat aku bawa. Mungkin ibu akan mengirimkannya sendiri lewat jasa pengiriman berbayar.”

Dia tak lagi mejawab sms tersebut. Dan hingga hari terakhir aku berada di Makassar, dia tak menemuiku atau mengirimkan sms lain. Aku sempat mendengar kabar kalau telepon genggamnya hilang, sehari setelah aku tiba di Makassar. Ah, mungkin takdir telah berhenti berupaya menyatukan kami kembali.

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar