Antara Puisi dan Syair
Fortuna,
Kemewahan tak melulu bisa membuat kita merasa betah dan
nyaman. Apalagi jika kita hanya menikmatinya sendirian. Aku lupa menghitung
sekian jam yang aku habiskan di tempat yang bagiku tergolong mewah itu.
Dicky belum juga tiba. Di salah satu kamar Hotel Losari Metro aku bosan sendirian.
Sepi memagut, tak satu kuasa melepas-renggut. Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tiga penggal larik dari puisi berjudul "Hampa" yang aku kutip di atas mungkin ditulis oleh penyairnya dalam situasi yang sama denganku. Si penyair sendiri sudah lama mati. Dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di depan hotel yang aku tempati. Jalan Chairil Anwar.
Sepi memagut, tak satu kuasa melepas-renggut. Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tiga penggal larik dari puisi berjudul "Hampa" yang aku kutip di atas mungkin ditulis oleh penyairnya dalam situasi yang sama denganku. Si penyair sendiri sudah lama mati. Dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di depan hotel yang aku tempati. Jalan Chairil Anwar.
Kira-kira, saat jam dinding hampir menunjukkan pukul 11.00 Wita, aku lalu memutuskan turun ke lobi hotel agar tak larut dalam
kebosananku sendiri. Beberapa tamu MIWF terlihat sedang duduk mengaso. Sepertinya para penulis yang berasal dari
luar negara ini. Aku menduga begitu, sebab mereka bercakap tidak dalam bahasa resmi negara ini, dan tidak dalam bahasa daerah kota ini.
Aku berkenalan dengan Qaisra Shahraz, penulis berdarah Pakistan yang saat ini menetap di kota Manchester. Sebuah kebetulan aku berkenalan dengannya saat aku sedang mengenakan seragam tandang Manchester United.
Aku berkenalan dengan Qaisra Shahraz, penulis berdarah Pakistan yang saat ini menetap di kota Manchester. Sebuah kebetulan aku berkenalan dengannya saat aku sedang mengenakan seragam tandang Manchester United.
Dalam bahasa inggris patah-patah, aku mencoba berkomunikasi
dengan penulis buku The Holy Woman
(2001- diterbitkan dalam terjemahan Bahasa Indonesia dengan judul “Perempuan
Suci” oleh penerbit Mizan-2006) itu. Dia bercerita soal aktivitasnya sebagai
seorang penulis merangkap penilik sekolah di Manchester. Aku menahan diri
untuk tidak bertanya kepadanya soal kabar Wayne Rooney dan kawan-kawan. "Dia datang
ke Makassar sebagai penulis, bukan sebagai pengamat atau komentator sepakbola," bisikku kepada seorang penggemar Setan Merah yang sedang rusuh dalam diriku.
Di lobi hotel yang sama, aku pun bertemu Josephine Chia,
seorang penulis dari Singapura. Perempuan peranakan tionghoa-melayu tersebut
juga adalah seorang guru yoga. Sebagai peranakan, dia banyak menulis soal
kehidupan para peranakan di Singapura dan paham beberapa patah kata dalam
bahasa Melayu. Hal yang suka dilakukannya saat bercakap denganku adalah
membandingkan beberapa kosa kata Melayu dengan kosa kata Indonesia. Dia misalnya
bertanya apa padanan kata untuk english, interview, journalist, dan poems dalam bahasa Indonesia.
Satu pertanyaannya yang hingga kini masih membingungkanku. “Mengapa orang Indonesia menerjemahkan kata Poems dalam banyak kata seperti sajak,
puisi, dan syair. Lantas apa bedanya puisi dan syair?”
Josephine Chia. (Sumber: makassarwriters.com) |
Namun aku sadar, aku adalah tuan di sebuah rumah yang
bernama bahasa Indonesia, sementara dia adalah tamu dari rumah bahasa lain yang
ingin tahu segala hal tentang rumahku. Demi alasan kesopanan seorang tuan rumah, pertanyaan Josephine yang sulit itu
mesti aku jawab, meskipun jawabanku adalah jawaban sekenanya: syair merupakan bentuk
kuno puisi yang lebih berhikayat. Bernarasi. Sementara puisi tidak terikat
aturan apa pun.
Aku lalu mencontohkan “Syair Perang Makassar” yang ditulis
Enci’ Amin, jurutulis Raja Gowa, Sultan Hasanuddin, pada pertengahan Abad 17
(diterbitkan dalam bentuk buku modern tahun 2008 oleh penerbit Ininnawa dan KITLV). “Syair Perang Makassar”
memiliki narasi tentang suatu kejadian—dalam hal ini peperangan--, sementara
puisi tak memiliki tuntutan untuk menceritakan sesuatu secara naratif.
Dia tampaknya puas, meski agak tak yakin karena aku kerap
mengatakan, “That’s just my opinion” berulang-kali.
Di Lobi itu, aku berkenalan dengan dua orang panitia: Pepen—orang
yang pertama kali mengabarkan kedatanganku lewat kicauan di linimasa—dan Kamal
yang merupakan Liaison Officer (LO) dadakan Josephine. “Saya sebenarnya bukan LO-nya. LO-nya yang asli sedang berhalangan hadir. Sebenarnya dia (Josephine) baru dijadwalkan tiba siang nanti. Tapi dia sudah datang lebih awal sejak kemarin sore,” keluh Kamal kepadaku.
Ah, dasar orang Singapura! Disiplin mereka yang keterlaluan kadang bisa mendatangkan kerepotan. Hahahaha.
Bersambung…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar