Jumat, 12 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian V)


Ikan Kecil Berkacamata

Fortuna,

Perhelatan MIWF dimulai tatkala aku dan beberapa partisipan lain mengudara di beberapa stasiun radio di Makassar. Sejumlah nama yang ingin aku temui sudah tercentang. Namun dibanding daftarnya yang panjang, jumlah itu terbilang sedikit.

Aku mengudara di Radio SC FM. SC adalah singkatan dari Suara Celebes. Di radio ini aku dipasangkan dengan Maman Suherman, pembawa acara Mata Hati di KOMPAS TV. Bisa dikatakan aku dan bang Maman mencari nafkah di perusahaan yang sama. Kami berdua diwawancarai Wulan tentang beberapa hal. Sebagian besar soal kenangan tentang Kota Makassar, sebagian lagi soal apa yang akan kami lakukan sepanjang lima hari ke depan dalam MIWF.

Di Radio itu, aku membaca puisiku sendiri: “Pintu dan Tali Sepatu” sementara bang Maman membacakan sebuah puisi milik Wiji Thukul. Aku lupa apa judulnya. Dia membacakan puisi itu sebagai seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan si pembuat puisi. Wiji Thukul, adalah seorang penyair pemberani yang menghilang sejak negeri ini diguncang kisruh tahun 1998. Keberadaannya belum diketahui hingga kini.

Sepulang dari studio SC, aku berharap bisa kembali ke hotel untuk mandi. Waktu sudah menjelang Magrib, sementara tubuhku yang mulai gerah belum juga terkena air mandi segayung pun sejak kakiku menginjak tanah Makassar. Namun alih-alih ke hotel untuk mandi, panitia malah menggiringku dan bang Maman ke suatu gedung tinggi. Wisma Kalla namanya.


Entah di lantai berapa, lagi-lagi aku lupa, aku kemudian terjebak di sebuah restoran yang hanya menyajikan ikan. Restoran Juku namanya, lagi-lagi kalau aku tak salah (aduh, aduh, ingatanku ini!).

Jokpin, Rm Amanche, Mario, Amir, Dicky di Restoran Juku (Sumber: makassarwriters.com)
Ikan, ikan, ikan dan melulu ikan. Di salah satu dinding restoran itu, mataku tertumbuk pada susunan kata-kata. Nampaknya padanan kata ikan dalam beberapa bahasa dunia. Mungkin aku perlu menambahkan namaku di salah satu jengkal dinding itu. Terus terang, kala itu aku mulai merasa berbau seperti ikan teri karena belum mandi.

Akhirnya, aku bertemu juga dengan trio maut dari Kupang itu. Romo Amanche, Mario F. Lawi, dan teman sekamar Christian Dicky Senda. Rm. Amanche dan Mario nampak asyik mengobrol dengan mas Jokpin dan Okky Madasari (Hore! Tiba juga ternyata). Sementara Dicky menyudut berdua dengan filmmaker asal Malaysia, Amir Muhammad.

Aku langsung menyalami mereka satu persatu. Mencoba mengobrolkan hal-hal yang bisa diobrolkan. Tema utamanya tentu adalah perihal keterlambatan pesawat mereka. Dicky bercerita, Bandara di Kupang hanya melayani satu penerbangan pagi. Itu pun mesti menunggu pesawat dari Denpasar. Keterlambatan mereka akibat pesawat dari Denpasar yang tertunda beberapa jam.

Setelah mencentang tiga nama tersebut, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Hanya ada para partisipan – dari Negara ini maupun dari luar Negara ini-, ikan-ikan mati yang sudah tersaji dalam bentuk segala jenis masakan khas Makassar dan Bugis, dan dinding penuh nama ikan dari berbagai bahasa.

“Permisi, apakah kalian adalah para eastern writers?” tiba-tiba terdengar suara seekor ikan, eh maksudku seorang gadis menyapa kami.

Eastern writers heh? Label ini terasa agak menggelikan di telingaku. Aku menengok si empunya suara. Eh, benar, bukan seekor ikan, tapi seorang gadis berkacamata. Dia kemudian mengenalkan dirinya sebagai Weny, Liaision Officer (LO) kami.

“Kalau ada perlu apa-apa, tidak perlu sungkan-sungkan menghubungi saya, ya,” ujarnya sambil mencatatat nomor telepon kami satu persatu.

“Kau kuliah di mana, dek?” tanyaku mencoba meneliti dari mana asal si ikan kecil berkacamata yang selama beberapa hari ke depan bakal kerap kali kurepotkan itu.

“Oh, saya di Unhas. Tapi itu dulu, sekarang saya sudah selesai.”

“Oh ya? Jurusan apa?”

“HI (Hubungan Internasional), kak.”

“Pantas….”

“Maksudnya?”

“Saya seperti pernah melihatmu.”

“Kok bisa?”

“Saya Sospol juga. Tapi jurusan Ilmu Komunikasi.”

“Oh ya? Angkatan berapa ki’?” Meski agak terkejut mendengar pengakuanku, Weny ternyata tidak lupa memperbaiki gaya percakapan kami dengan menambahkan sedikit aksen Makassar yang akrab.

“2005. Kamu?”

“Astaga. Saya 2008”

“Nah, kan. Berarti kita benar pernah bertemu sebelumnya,” ucapku sedikit lega karena spekulasiku ternyata cukup berhasil. Sejujurnya, selain pertemuan di restoran ikan itu, aku tak merasa pernah bertemu dia sebelumnya. Hahahahaha.

Weny (sumber: makassarwriters.com)
Fortuna, spekulasi dalam sebuah percakapan itu perlu buat mengenyahkan kegugupan. Apalagi, kau tahu, sejak dulu gadis berkacamata selalu mudah membuatku gugup. (Uhuk!)

Setelah berkenalan, Weny pamit untuk bergabung bersama rekan-rekan sesama volunteer. Sementara aku mulai gelisah mencari tempat merokok. Joko Pinurbo menghilang dari kursinya. Firasatku, orang ini pasti sedang keluar mencari ruangan bebas merokok. Dan benar saja, dia kutemukan di luar restoran sedang khusyuk mengisap rokoknya bersama Khrisna Pabichara.

“Naaaahhh ini diaaa!” seru Jokpin begitu melihatku. Rupanya dia senang konco merokoknya bertambah satu. Tak lagi terlihat raut gelisah seperti yang ditampakkanya sore tadi.

Sambil merokok, kami bertiga berbincang seru. Soal apa lagi kalau bukan soal sastra? Kami terutama membahas soal A.M. Daeng Myala, sastrawan pujangga baru asal Sulawesi Selatan. Dalam perhelatan MIWF, penyelenggara mempersembahkan satu penghargaan khusus untuk sastrawan yang telah wafat beberapa tahun lalu itu.

Sebagai seorang yang ditugasi MIWF melacak karya-karya Daeng Myala, Khrisna mengaku sempat mengalami beberapa kesulitan. Terutama, lantaran semua dokumentasi karya Daeng Myala ludes dalam sebuah peristiwa kebakaran sekitar tahun 90-an.

Di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin, karya-karya Daeng Myala juga sulit ditemukan. Nama sang sastrawan tidak tercantum di direktori PDS, baik itu yang berada di bawah indeks huruf A maupun huruf M. Khrisna bertutur, karya Daeng Myala baru bisa dijumpainya lewat penelusuran beberapa edisi suatu majalah sastra.

Mendengar sekelumit cerita Khrisna, aku jadi agak kasihan melihat betapa Negara terkesan setengah hati mendokumentasikan karya-karya sastra bermutu milik bangsa ini.

Makan malam hampir usai. Jadwal kami selanjutnya adalah menghadiri acara pembukaan di Fort Rotterdam. Sebelum beranjak dari restoran itu, aku sempat bertemu Rendra Jakadilaga. Seorang kawan akrab. Penggiat @fiksimini Makassar. Aku pun kembali mencentang satu nama dalam daftar.

Rendra baru pulang kerja. Dia datang masih mengenakan seragam pabrik semen tempat dia bekerja. Rendra datang sendiri tanpa membawa istrinya. Sayang sekali. Padahal aku ingin melihat pasangan yang baru menikah beberapa bulan yang lalu itu jalan bersama. Mungkin, sebuah usaha agar aku terpacu untuk cepat-cepat menikah juga. (halah!)

Sempat cukup lama kami bercakap-cakap di depan Wisma Kalla sambil menunggu bus wisata yang akan menjemput rombongan partisipan. Kami saling iri kepada satu sama lain. Aku iri melihat dia telah menikah, sementara dia iri melihatku bebas ke mana-mana. Memang Fortuna, tak ada hal yang bisa menerbitkan rasa iri, selain hal-hal yang tidak kita miliki.

Bus wisata tiba. Aku berpisah dengan Rendra. Kami berjanji bertemu lagi di Fort Rotterdam.

Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar