Ikan Kecil Berkacamata
Fortuna,
Perhelatan MIWF dimulai tatkala aku dan beberapa partisipan
lain mengudara di beberapa stasiun radio di Makassar. Sejumlah nama yang ingin
aku temui sudah tercentang. Namun dibanding daftarnya yang panjang, jumlah itu terbilang
sedikit.
Aku mengudara di Radio SC FM. SC adalah singkatan dari Suara
Celebes. Di radio ini aku dipasangkan dengan Maman Suherman, pembawa acara Mata
Hati di KOMPAS TV. Bisa dikatakan aku dan bang Maman mencari nafkah di
perusahaan yang sama. Kami berdua diwawancarai Wulan tentang beberapa hal.
Sebagian besar soal kenangan tentang Kota Makassar, sebagian lagi soal apa yang
akan kami lakukan sepanjang lima hari ke depan dalam MIWF.
Di Radio itu, aku membaca puisiku sendiri: “Pintu dan Tali
Sepatu” sementara bang Maman membacakan sebuah puisi milik Wiji Thukul. Aku
lupa apa judulnya. Dia membacakan puisi itu sebagai seseorang yang memiliki
ikatan emosional dengan si pembuat puisi. Wiji Thukul, adalah seorang penyair pemberani
yang menghilang sejak negeri ini diguncang kisruh tahun 1998. Keberadaannya belum
diketahui hingga kini.
Sepulang dari studio SC, aku berharap bisa kembali ke hotel
untuk mandi. Waktu sudah menjelang Magrib, sementara tubuhku yang mulai gerah belum
juga terkena air mandi segayung pun sejak kakiku menginjak tanah Makassar.
Namun alih-alih ke hotel untuk mandi, panitia malah menggiringku dan bang Maman
ke suatu gedung tinggi. Wisma Kalla namanya.
Entah di lantai berapa, lagi-lagi aku lupa, aku kemudian terjebak
di sebuah restoran yang hanya menyajikan ikan. Restoran Juku namanya, lagi-lagi
kalau aku tak salah (aduh, aduh, ingatanku ini!).
Jokpin, Rm Amanche, Mario, Amir, Dicky di Restoran Juku (Sumber: makassarwriters.com) |
Ikan, ikan, ikan dan melulu ikan. Di salah satu dinding
restoran itu, mataku tertumbuk pada susunan kata-kata. Nampaknya padanan kata
ikan dalam beberapa bahasa dunia. Mungkin aku perlu menambahkan namaku di salah
satu jengkal dinding itu. Terus terang, kala itu aku mulai merasa berbau
seperti ikan teri karena belum mandi.
Akhirnya, aku bertemu juga dengan trio maut dari Kupang itu.
Romo Amanche, Mario F. Lawi, dan teman sekamar Christian Dicky Senda. Rm.
Amanche dan Mario nampak asyik mengobrol dengan mas Jokpin dan Okky Madasari
(Hore! Tiba juga ternyata). Sementara Dicky menyudut berdua dengan filmmaker asal
Malaysia, Amir Muhammad.
Aku langsung menyalami mereka satu persatu. Mencoba mengobrolkan
hal-hal yang bisa diobrolkan. Tema utamanya tentu adalah perihal keterlambatan
pesawat mereka. Dicky bercerita, Bandara di Kupang hanya melayani satu
penerbangan pagi. Itu pun mesti menunggu pesawat dari Denpasar. Keterlambatan
mereka akibat pesawat dari Denpasar yang tertunda beberapa jam.
Setelah mencentang tiga nama tersebut, aku mengedarkan
pandangan ke sekeliling restoran. Hanya ada para partisipan – dari Negara ini
maupun dari luar Negara ini-, ikan-ikan mati yang sudah tersaji dalam bentuk
segala jenis masakan khas Makassar dan Bugis, dan dinding penuh nama ikan dari
berbagai bahasa.
“Permisi, apakah kalian adalah para eastern writers?” tiba-tiba terdengar suara seekor ikan, eh
maksudku seorang gadis menyapa kami.
Eastern writers
heh? Label ini terasa agak menggelikan di telingaku. Aku menengok si empunya suara. Eh,
benar, bukan seekor ikan, tapi seorang gadis berkacamata. Dia kemudian
mengenalkan dirinya sebagai Weny, Liaision
Officer (LO) kami.
“Kalau ada perlu apa-apa, tidak perlu sungkan-sungkan menghubungi
saya, ya,” ujarnya sambil mencatatat nomor telepon kami satu persatu.
“Kau kuliah di mana, dek?” tanyaku mencoba meneliti dari
mana asal si ikan kecil berkacamata yang selama beberapa hari ke depan bakal kerap
kali kurepotkan itu.
“Oh, saya di Unhas. Tapi itu dulu, sekarang saya sudah
selesai.”
“Oh ya? Jurusan apa?”
“HI (Hubungan Internasional), kak.”
“Pantas….”
“Maksudnya?”
“Saya seperti pernah melihatmu.”
“Kok bisa?”
“Saya Sospol juga. Tapi jurusan Ilmu Komunikasi.”
“Oh ya? Angkatan berapa ki’?”
Meski agak terkejut mendengar pengakuanku, Weny ternyata tidak lupa memperbaiki
gaya percakapan kami dengan menambahkan sedikit aksen Makassar yang akrab.
“2005. Kamu?”
“Astaga. Saya 2008”
“Nah, kan. Berarti
kita benar pernah bertemu sebelumnya,” ucapku sedikit lega karena spekulasiku
ternyata cukup berhasil. Sejujurnya, selain pertemuan di restoran ikan itu, aku tak merasa pernah bertemu dia sebelumnya. Hahahahaha.
Weny (sumber: makassarwriters.com) |
Fortuna, spekulasi dalam sebuah percakapan itu perlu buat mengenyahkan kegugupan. Apalagi,
kau tahu, sejak dulu gadis berkacamata selalu mudah membuatku gugup. (Uhuk!)
Setelah berkenalan, Weny pamit untuk bergabung bersama
rekan-rekan sesama volunteer. Sementara aku mulai gelisah mencari tempat
merokok. Joko Pinurbo menghilang dari kursinya. Firasatku, orang ini pasti
sedang keluar mencari ruangan bebas merokok. Dan benar saja, dia kutemukan di
luar restoran sedang khusyuk mengisap rokoknya bersama Khrisna Pabichara.
“Naaaahhh ini diaaa!” seru Jokpin begitu melihatku. Rupanya dia
senang konco merokoknya bertambah satu. Tak lagi terlihat raut gelisah
seperti yang ditampakkanya sore tadi.
Sambil merokok, kami bertiga berbincang seru. Soal apa lagi
kalau bukan soal sastra? Kami terutama membahas soal A.M. Daeng Myala,
sastrawan pujangga baru asal Sulawesi Selatan. Dalam perhelatan MIWF,
penyelenggara mempersembahkan satu penghargaan khusus untuk sastrawan yang telah
wafat beberapa tahun lalu itu.
Sebagai seorang yang ditugasi MIWF melacak karya-karya Daeng
Myala, Khrisna mengaku sempat mengalami beberapa kesulitan. Terutama, lantaran
semua dokumentasi karya Daeng Myala ludes dalam sebuah peristiwa kebakaran sekitar tahun 90-an.
Di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B Jassin, karya-karya
Daeng Myala juga sulit ditemukan. Nama sang sastrawan tidak tercantum di
direktori PDS, baik itu yang berada di bawah indeks huruf A maupun huruf M.
Khrisna bertutur, karya Daeng Myala baru bisa dijumpainya lewat penelusuran beberapa
edisi suatu majalah sastra.
Mendengar sekelumit cerita Khrisna, aku jadi agak kasihan
melihat betapa Negara terkesan setengah hati mendokumentasikan karya-karya
sastra bermutu milik bangsa ini.
Makan malam hampir usai. Jadwal kami selanjutnya adalah
menghadiri acara pembukaan di Fort Rotterdam. Sebelum beranjak dari restoran
itu, aku sempat bertemu Rendra Jakadilaga. Seorang kawan akrab. Penggiat
@fiksimini Makassar. Aku pun kembali mencentang satu nama dalam daftar.
Rendra baru pulang kerja. Dia datang masih mengenakan seragam
pabrik semen tempat dia bekerja. Rendra datang sendiri tanpa membawa istrinya. Sayang
sekali. Padahal aku ingin melihat pasangan yang baru menikah beberapa bulan
yang lalu itu jalan bersama. Mungkin, sebuah usaha agar aku terpacu untuk cepat-cepat
menikah juga. (halah!)
Sempat cukup lama kami bercakap-cakap di depan Wisma Kalla sambil
menunggu bus wisata yang akan menjemput rombongan partisipan. Kami saling iri
kepada satu sama lain. Aku iri melihat dia telah menikah, sementara dia iri
melihatku bebas ke mana-mana. Memang Fortuna, tak ada hal yang bisa menerbitkan
rasa iri, selain hal-hal yang tidak kita miliki.
Bus wisata tiba. Aku berpisah dengan Rendra. Kami berjanji
bertemu lagi di Fort Rotterdam.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar