Senin, 01 Juli 2013

[MIWF2013] Yang Bertemu dan Tak Bertemu (Bagian I)

Panggilan Kedua

Fortuna,

Tidak ada satu pun manusia sentimentil di dunia ini yang sanggup menampik godaan kenangan. Itulah kira-kira yang aku pikirkan saat mengiyakan ajakan mengikuti Makassar International Festival (MIWF) 2013.

Semua berawal dari kabar mengejutkan seorang kawan di linimasa twitter. Lewat kicauannya, Dedy Tri Riyadi, nama kawanku itu, merilis link internet yang menghubungkanku ke sebuah pengumuman berisi enam nama penulis Indonesia Timur penerima fellowship dari Rumah Kebudayaan Rumata’. Namaku ada di antara enam nama tersebut. Sebagai penerima fellowship, aku dan lima orang penulis lain diundang menghadiri MIWF 2013.


Poster MIWF 2013
Perlu aku jelaskan, MIWF adalah ajang tahunan di Makassar yang diselenggarakan rumah budaya Rumata’ untuk mengumpulkan beberapa orang penulis, baik yang berdomisili di Negara ini maupun di luar Negara ini. Tahun ini MIWF memasuki tahun ketiga. Menurut prosais Lily Yulianti Farid, sang konseptor acara, MIWF bertujuan menjadi ajang saling mendekatkan, berbagi ilmu, bertukar informasi tentang dunia kepenulisan dan literasi.

Sebetulnya, aku sudah diundang di MIWF tahun lalu. Namun untuk beberapa alasan, aku mendadak membatalkan keikutsertaanku. Sejak itu aku pikir, kesempatan yang tak aku gunakan itu telah hangus secara otomatis. Kabar mengenai undangan yang aku terima untuk kedua kalinya ini membuatku berpikir kembali. Tak lama setelah mendengar kabar dari Dedy, aku segera mengirim pesan blackberry kepada Aan Mansyur, mempertanyakan kebenaran kabar ini. Aan mengiyakan, dan sungguh, itu sebenarnya merisauanku

Hal pertama  yang aku risaukan adalah, aku merasa tidak pernah mengikuti proses seleksi penerima fellowship. Berbeda dengan penyelenggaraan MIWF tahun pertama dan kedua, tahun ini, kurator MIWF yang berisikan Aan Mansyur, Shinta Febriany, dan Aslan Abidin, menggelar proses seleksi dengan persyaratan-persyaratan ketat. Di antaranya adalah mengirimkan karya tulisan. Aku tak pernah mengirimkan satu pun karya untuk mengikuti proses seleksi ini.

Kedua, adalah aku risau dan khawatir, orang-orang akan menganggap MIWF tidak adil. MIWF telah dua kali memberi fellowship untuk satu orang yang sama. Mengapa kesempatan itu tidak diberikan kepada orang lain yang bersungguh-sungguh ingin ikut saja?

Ketiga, sekitar tiga tahun belakangan ini aku sudah tak produktif lagi menulis--selain berita. Aku agak minder ikut serta dalam perayaan yang diembel-embeli kata "penulis". Ditambah lagi, aku belum juga membuahkan satu pun buku sendiri. Selama bertahun-tahun menulis, aku baru berhasil menerbitkan satu antologi puisi bersama tujuh kawan penyair Gorontalo berjudul Pohon Ibu (Tanggomopedia 2013), itu pun belum bisa diedarkan karena harus mengalami perbaikan kembali akibat banyaknya kesalahan cetak. Ringkasnya, aku membayangkan akan kesulitan menjelaskan riwayat kepengaranganku yang tak jelas ini.

Namun bukan Aan namanya jika tak mampu meyakinkanku. Penyair yang dikenal sebagai @hurufkecil di twitter itu menjelaskan, aku sebenarnya diundang lagi justru karena tahun lalu aku tak hadir. Jadi ini sebenarnya untuk memenuhi jatah yang belum sempat aku ambil. “Lihat saja, jumlah penulis yang diundang tahun ini sebenarnya cuma lima orang. Karena ada kamu, jadinya enam orang,” tulis Aan dalam percakapan BBM kami.

Aan juga meyakinkanku untuk tetap datang dan bersenang-senang di acara itu. Dia yakin aku akan merasa bahagia bertemu penulis-penulis yang selama ini hanya bisa aku kenal lewat tulisan-tulisan mereka. Dia juga berpendapat, kemandulanku dalam hal menelurkan puisi mungkin bisa dipulihkan selepas mengikuti acara ini—Kadang aku pikir, selain penyair, Aan juga sebenarnya berbakat menjadi tukang jual obat.

Setelah menimbang-nimbang, aku akhirnya setuju dengan ajakan Aan. Dalam hati, aku menambahkan sendiri satu alasan lagi untuk datang ke MIWF. Alasan sentimentil yang bernama kenangan. Aku sesungguhnya rindu dengan kota yang membesarkanku selama 2003-2011 itu. Aku rindu dengan kawan-kawan, sahabat-sahabat dan hal-hal sederhana yang pernah kami lakukan.

Tak lama setelah percakapan bbm kami, aku mengirimkan beberapa puisi baru via surat elektronik kepada Aan. Beberapa puisi yang aku tulis dalam beberapa bulan belakangan ini. Puisi-puisi tersebut aku kirim agar ada sesuatu yang bisa “dikurasi” para kurator. Mengirimkan puisi-puisi tersebut juga membantuku memperkuat keyakinan untuk ikut perayaan itu.

Sembari mengirim puisi, diam-diam aku menyusun sendiri hal-hal ingin aku lakukan dan nama-nama yang ingin aku temui di sana. Di Makassar.

Bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar