Selasa, 16 Juli 2013

Dakwah Damai di Persimpangan

Matahari penanda hari ke enam bulan Ramadhan belum terbit benar, namun puluhan warga telah berkerumun di simpang empat Barito, perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Mereka menanti “Barito Berdakwah”, sebuah tausiah yang rutin dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan di persimpangan jalan itu.

Sumber: aku sendiri
Sembari menunggu penceramah yang sedang dalam perjalanan, panitia kegiatan mengedarkan kotak amal. Ka Ita Nyonyo, mungkin bukan nama sebenarnya, mendatangi setiap orang dengan membawa kardus bertuliskan Kotak POS (Puasa Orang Miskin), sementara lewat pelantang suara, seorang panitia mengajak warga berkumpul dan bersedekah.


Tak berapa lama, ustad Junus Arnol yang menjadi penceramah di hari itu tiba. Warga tampak khusyuk mendengarkan ceramahnya sambil duduk bersila, berjongkok atau selonjoran di aspal dan bahu jalan. Beberapa warga ada yang memilih duduk di kendaraan pribadi masing-masing.

Tausiah itu sendiri merupakan kegiatan tahunan Pemuda Simpang Empat Barito, gabungan pemuda dari dua kampung bertetangga yakni Kelurahan Bulotadaa Timur dan Desa Sejahtera. Simpang Empat Barito merupakan pembatas antara dua kampung tersebut.


Kedua kampung itu berada di dua wilayah administratif yang berbeda, Bulotadaa Timur terletak di Kota Gorontalo, sementara Desa Sejahtera berada di Kabupaten Bone Bolango. Bisa dikatakan, Simpang Empat Barito adalah persimpangan yang ramai, karena berada di perbatasan dua daerah tingkat dua.

Meski demikian, panitia “Barito Berdakwah” memilih tidak melakukan blokade jalan. Alhasil, kendaraan seperti truk, mobil, bentor, sepeda motor, sampai gerobak kuda lalu lalang di perempatan tersebut. Namun warga dan penceramah seperti tidak merasa terganggu akan ribut dan asap kendaraan.

Malah yang terjadi, beberapa pengemudi kendaraan, terutama muda-mudi yang berboncengan di sepeda motor tampak tersipu-sipu atau menutup muka saat melintas di persimpangan tersebut. Mereka seolah malu dilihati warga sedang berboncengan di pagi hari bulan puasa. Saat seharusnya dua orang yang bukan muhrim saling menjaga jarak antara tubuh mereka.

sumber: aku sendiri
“Belajarlah pada ayam, mereka tak pernah sekolah, tapi disiplin. Turun kandang jam enam pagi, pulang jam enam malam. Sementara manusia? Walaupun sudah sekolah, sampai bergelar professor sekali pun tetap hepohimbulowa (suka menipu),” ujar sang penceramah di antara deru mesin diesel milik sebuah mobil truk yang melintas di persimpangan itu.

Sekilas, nama Barito seolah merujuk pada nama salah satu sungai di Kalimantan. Namun menurut warga setempat, nama Barito diambil dari akronim Bawang, Rica (cabai) dan Tomat tiga komoditas utama yang diperdagangkan di pasar yang tak jauh dari simpang empat itu.

Pada sekitar tahun 1982, simpang empat Barito kerap dijadikan “medan tawuran” antar kedua kampung. Menurut Ismail (30) tawuran justru dilakukan oleh warga pendatang yang menghuni kedua kampung. “Dari daerah lain mereka membawa masalah masing-masing, lalu diselesaikan di tempat ini,” ujar pria yang merupakan warga Bulotadaa Timur ini.

Konflik tersebut sebenarnya sempat berusaha didamaikan oleh para warga asli dari kedua kampung. Namun, upaya ini gagal, bahkan menurut Ismail, para pendatang tersebut malah sempat memukuli warga yang menjadi mediator konflik.

Resah dengan tawuran yang nyaris jadi rutinitas, para pemuda kedua kampung kemudian sepakat membentuk perkumpulan Pemuda Simpang Empat Barito. Kegiatan pertama perkumpulan ini adalah mengambil alih Simpang Empat Barito, dan mengisinya dengan tausiah saban jelang fajar, agar para pemuda pendatang tidak lagi menjadikan tempat itu sebagai arena baku hantam.

Ide ini ternyata berhasil. Orang-orang yang akan bersiap tawuran akhirnya jadi tak bisa melaksanakan niat mereka, karena simpang empat itu terlanjur dipenuhi Jemaah dan penceramah. Beberapa orang yang kerap melakukan tawuran bahkan akhirnya berdamai dan saling bersilaturahim hingga saat ini.

Kegiatan ini kemudian menjadi tradisi turun temurun setiap bulan suci Ramadhan. Setiap tahun, panitia penyelenggara berganti-ganti dari generasi ke generasi. Rahmawati Eka (22) menjadi Ketua Panitia di Ramadhan tahun 1434 H kali ini. “Saya adalah generasi kelima sejak kegiatan ini diadakan tahun 1982,” kata gadis berkerudung tersebut.

Menurut Rahma, panitia memang sengaja tak melakukan blokade jalan selama kegiatan, dengan harapan para pemilik kendaraan bersedia menepi untuk ikut bersama mendengarkan tausiah. “Inti dari dakwah kan sebenarnya begitu, bagaimana membuat orang lain tertarik dengan apa yang ingin kita dakwahkan,” ujarnya.

Harapan panitia ini rupanya cukup memberikan hasil, kegiatan ini bukan hanya diikuti warga setempat, tetapi juga warga dari daerah lain. Beberapa pejabat bahkan bergantian mengikuti kegiatan ini. “Hari kedua yang hadir pak Weny (Weni Liputo, penjabat walikota Gorontalo) dan besoknya hadir pak Hamim Pou (Bupati Bone Bolango),” tutur Debby Mano (30), warga Bulotadaa yang kerap datang di kegiatan ini.

Ismed Dau (35), seorang warga asli Paguyaman, mengatakan tertarik mendatangi tausiah ini karena keunikannya. Pria yang sejak dua tahun lalu menetap di Tapa, Kabupaten Bone Bolango itu mengaku tidak pernah sebelumnya menjumpai tausiah yang digelar di perempatan jalan.

“Nanti di sini ini,” kata Ismed yang mengaku datang setiap hari ke simpang empat Barito bersama delapan orang anak asuhnya.

Pukul 08.00 Wita. Tausiah hari itu berakhir dengan sebuah doa. Simpang empat Barito mendadak macet, karena pendengar tausiah pulang ke rumah masing-masing dari empat arah berbeda. Beberapa orang bersalam-salaman. Suasananya mirip betul dengan Lebaran.***

Catatan: Fortuna, tulisan ini dimuat di Jurnal Kebudayaan Tanggomo tanggal 15 Juli 2013, silahkan Cek di sini Silahkan kunjungi juga Jurnal Kebudayaan Tanggomo untuk menyimak tulisan-tulisan yang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar