Ayunan
Semula
karena
aku tak bertemu hutan
Karena kayu telah rela mengabu demi menyulut hidup tungku-tungku
Akar, belukar, perdu menjelma dipan, tikar, dan selimut lampu
aku bertanya, dengan bahan apa akan aku buat ayunan itu?
Semula
Karena kayu telah rela mengabu demi menyulut hidup tungku-tungku
Akar, belukar, perdu menjelma dipan, tikar, dan selimut lampu
aku bertanya, dengan bahan apa akan aku buat ayunan itu?
Semula
karena
aku mengangankanmu diapung angin
dari
hulu ke hulu, pintu ke pintu, rindu ke rindu
karena membayangkan punggungmu adalah layangan lepas
tempat menulis sajak-sajak ringkas
Aku memutuskan membelah kertas
Bakal ayunan buat tubuhmu yang bebas
Semula
karena membayangkan punggungmu adalah layangan lepas
tempat menulis sajak-sajak ringkas
Aku memutuskan membelah kertas
Bakal ayunan buat tubuhmu yang bebas
Semula
karena
pikirku ayunan mesti bertemali
Karena temali paling lembut adalah sayap-sayap peri
Sementara peri-peri masih sibuk belajar origami
Melipat angsa, menggunting telaga
Merakit sayap yang ujungnya bisa dikuncup-buka
Maka aku pilih memintal temali
Karena temali paling lembut adalah sayap-sayap peri
Sementara peri-peri masih sibuk belajar origami
Melipat angsa, menggunting telaga
Merakit sayap yang ujungnya bisa dikuncup-buka
Maka aku pilih memintal temali
yang
akan memilih gayutannya sendiri
Mungil, ringan, dan bersayap seperti peri
Ayunan telah sedia berlayar
Mungil, ringan, dan bersayap seperti peri
Ayunan telah sedia berlayar
menuju
negeri jutaan origami
Naik dan berpeganganlah pada temali
Biar aku mendorongmu dari buritan
Berayun, berayun, dan tubuhmu pun menjelma daun.Naik dan berpeganganlah pada temali
Biar aku mendorongmu dari buritan
Salvo
Semua
jadi biru. Calon nisan, cuaca, dan keheningan.
Suara
sekelompok vokalia telah berhenti sebelum lenyap
dalam
notasi. Juga ada mereka, kerabat dan keluarga
yang
ditinggalkan.
Pidato
telah usai dibacakan saat sederet pasukan maju
dan
melepas tujuh kali tembakan sajak ke udara.
Semua
jadi biru sejak saat itu.
Di
dalam peti, ada lelaki yang terpejam. Bahu kiri
menyandang
senapan, bahu kanan memikul kitab amal.
Sementara
di atas sana, seorang janda menangis
karena
sumpah prajurit tak membuatnya kekal.
Kemana
pergi para pemberani jika di bumi, perdamaian
adalah
ilusi. Dan di langit, gencatan senjata masih jadi nisbi.
2014
- Terbit di Suratkabar Suara NTB edisi Minggu (21/09/14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar