Gula Merah
Gula merah terbaik di jalur Atinggola-Taludaa
tak lain adalah buatan talenga dari Tuwawa.
Pogambango namanya.
Tubuhnya yang tinggi menyongsong tandan bunga jantan
menunggu tetes-tetes kekal jatuh di tujuh jengkal dadanya
Di mulutnya yang basah sirih, pohon mantra mengakar kokoh
seperti cinta yang perih dan penuh cemooh.
Ia mengambil nira di Atinggola, menggodoknya di Gunung Potong,
dan menjualnya di Taludaa. Tubuhnya tinggal sebilah
setelah tiga daerah itu ia lewati dengan tiga langkah.
Ia bukan gergasi, hanya penyadap enau.
Ia pawang penakluk sungai dan
penjinak buaya buntung berekor hijau.
Suatu kali, ia menyesali keputusan para panggoba
yang mengusir pangeran dengan sayembara.
Padahal enau, bukan tebu, adalah sumber manis
yang menyenangkan Eya.
Ia menangis membayangkan asap membumbung di atas rimba
Asap yang membuat bapak dan anak saling bunuh di Padang Pinohumbala.
2014
Momotahu
Betapa padat badan dan nyali kami
Di bibir botol kami diletakkan
dibidik dengan presisi
Menunggu, menunggu, menunggu
pekat minyak berdesir di tubuh ini.
Tembak kami, hancurkan kalau bisa!
Biar bibir botol menikmati ciuman terakhir
sebelum di antara kami ada yang binasa.
Berulang kali, kami ditembak lalu jatuh,
ditembak dan jatuh lagi.
Kami tak punya mulut untuk mengaduh
Bahkan tak dapat kami membela kodrat sendiri
dalam puisi ini.
Dahulu, di sebuah taman yang jauhnya
nyaris tak terjangkau ujung cahaya,
leluhur kami dijatuhkan seperti wabah lepra,
jauh sebelum jatuhnya sepasang manusia.
Dan hari ini, kami terbaring di bibir botol
Bersiap menyambit langit
yang enggan menyambut kami.
2014
Bilu-bilulu
Kau datang dan kita nyaris bertabrakan
Kau terbang saat aku tak bisa menghilang
Wahai bilu-bilulu,
aku mencarimu di antara jerami berserakan
disoroti cahaya keperakan
Di pantai, aku memunguti batu-batu peluru
lalu akan kukejar kau sampai ke bulan
Awalnya memang ada dua pemburu
: aku dan dia
Namun, kau tahu,
perburuan kerap membuat
yang gila bertambah gila
Aku akan terus mengejarmu, bilu-bilulu
Ke langit sunyi, ke antara sengkarut
ranting-ranting kayu biti.
Sampai sepasang sayapmu itu menyerahkan diri
Menggantikan kakiku yang mulai tak sanggup berlari.
2013
Tulawota
Dalam sebuah wadah, ada yang menunggu
untuk ditemukan, ditukar dan dipasang-pasangkan.
Di luar wadah, ada yang berfirman:
Wahai potongan-potongan perca, sesungguhnya kalian
diciptakan berpasang-pasang agar kalian menyenangkan
Agar anak-anak mengenal warna-warna
dan mereka tahu dunia tak hitam-putih belaka.
Kalian menunggu ditemukan, dipasang-pasangkan
dengan jenis kalian sendiri.
2014
Tumbu-tumbu Balanga
Tumbu-tumbu Balanga
Balanga li masoyi
Tangan terkepal, mantra mengental
Kita berkumpul menenangkan adik yang nakal
Tumbuk menumbuk usir mimpi buruk.
Soyi-soyi leke
Leke kambu-kambu
Tanganmu di atas tanganku
Jiwamu mengisi liang matiku.
Bu’ade tibawa
Tutuiyo hulawa
Tak ada emas, beras
Ada yang meremas-remas
lambung adik hingga panas.
2014
Tapula
Jangan cari aku di sekolah
Sebab bangku-bangku itu tak pernah
setuju pada tubuhku
Barangkali sebab bangku-bangku itu bukan terbuat dari kayu
Kau bisa jadi guru dan aku akan mematuhimu
Sebagai murid yang tak butuh bangku
Kita akan menerka nasib sang batu
Tanpa perlu mengeja, menghapal atau menggerutu
Kita akan membuat denah
Bagi siapa yang tahu ke mana melangkah
Agar orang-orang tak lagi mencariku di sekolah
Sekali lagi, jangan cari aku di sekolah
cari saja aku di dalam kotak persegi
empat puluh kali empat puluh senti
Tempat aku menerka nasib sang batu
yang berada di genggaman tanganmu.
2013
-- Dimuat di Koran Tempo Edisi Minggu (3/8/14)
Gula merah terbaik di jalur Atinggola-Taludaa
tak lain adalah buatan talenga dari Tuwawa.
Pogambango namanya.
Tubuhnya yang tinggi menyongsong tandan bunga jantan
menunggu tetes-tetes kekal jatuh di tujuh jengkal dadanya
Di mulutnya yang basah sirih, pohon mantra mengakar kokoh
seperti cinta yang perih dan penuh cemooh.
Ia mengambil nira di Atinggola, menggodoknya di Gunung Potong,
dan menjualnya di Taludaa. Tubuhnya tinggal sebilah
setelah tiga daerah itu ia lewati dengan tiga langkah.
Ia bukan gergasi, hanya penyadap enau.
Ia pawang penakluk sungai dan
penjinak buaya buntung berekor hijau.
Suatu kali, ia menyesali keputusan para panggoba
yang mengusir pangeran dengan sayembara.
Padahal enau, bukan tebu, adalah sumber manis
yang menyenangkan Eya.
Ia menangis membayangkan asap membumbung di atas rimba
Asap yang membuat bapak dan anak saling bunuh di Padang Pinohumbala.
2014
Momotahu
Betapa padat badan dan nyali kami
Di bibir botol kami diletakkan
dibidik dengan presisi
Menunggu, menunggu, menunggu
pekat minyak berdesir di tubuh ini.
Tembak kami, hancurkan kalau bisa!
Biar bibir botol menikmati ciuman terakhir
sebelum di antara kami ada yang binasa.
Berulang kali, kami ditembak lalu jatuh,
ditembak dan jatuh lagi.
Kami tak punya mulut untuk mengaduh
Bahkan tak dapat kami membela kodrat sendiri
dalam puisi ini.
Dahulu, di sebuah taman yang jauhnya
nyaris tak terjangkau ujung cahaya,
leluhur kami dijatuhkan seperti wabah lepra,
jauh sebelum jatuhnya sepasang manusia.
Dan hari ini, kami terbaring di bibir botol
Bersiap menyambit langit
yang enggan menyambut kami.
2014
Bilu-bilulu
Kau datang dan kita nyaris bertabrakan
Kau terbang saat aku tak bisa menghilang
Wahai bilu-bilulu,
aku mencarimu di antara jerami berserakan
disoroti cahaya keperakan
Di pantai, aku memunguti batu-batu peluru
lalu akan kukejar kau sampai ke bulan
Awalnya memang ada dua pemburu
: aku dan dia
Namun, kau tahu,
perburuan kerap membuat
yang gila bertambah gila
Aku akan terus mengejarmu, bilu-bilulu
Ke langit sunyi, ke antara sengkarut
ranting-ranting kayu biti.
Sampai sepasang sayapmu itu menyerahkan diri
Menggantikan kakiku yang mulai tak sanggup berlari.
2013
Tulawota
Dalam sebuah wadah, ada yang menunggu
untuk ditemukan, ditukar dan dipasang-pasangkan.
Di luar wadah, ada yang berfirman:
Wahai potongan-potongan perca, sesungguhnya kalian
diciptakan berpasang-pasang agar kalian menyenangkan
Agar anak-anak mengenal warna-warna
dan mereka tahu dunia tak hitam-putih belaka.
Kalian menunggu ditemukan, dipasang-pasangkan
dengan jenis kalian sendiri.
2014
Tumbu-tumbu Balanga
Tumbu-tumbu Balanga
Balanga li masoyi
Tangan terkepal, mantra mengental
Kita berkumpul menenangkan adik yang nakal
Tumbuk menumbuk usir mimpi buruk.
Soyi-soyi leke
Leke kambu-kambu
Tanganmu di atas tanganku
Jiwamu mengisi liang matiku.
Bu’ade tibawa
Tutuiyo hulawa
Tak ada emas, beras
Ada yang meremas-remas
lambung adik hingga panas.
2014
Tapula
Jangan cari aku di sekolah
Sebab bangku-bangku itu tak pernah
setuju pada tubuhku
Barangkali sebab bangku-bangku itu bukan terbuat dari kayu
Kau bisa jadi guru dan aku akan mematuhimu
Sebagai murid yang tak butuh bangku
Kita akan menerka nasib sang batu
Tanpa perlu mengeja, menghapal atau menggerutu
Kita akan membuat denah
Bagi siapa yang tahu ke mana melangkah
Agar orang-orang tak lagi mencariku di sekolah
Sekali lagi, jangan cari aku di sekolah
cari saja aku di dalam kotak persegi
empat puluh kali empat puluh senti
Tempat aku menerka nasib sang batu
yang berada di genggaman tanganmu.
2013
-- Dimuat di Koran Tempo Edisi Minggu (3/8/14)
Saya suka, penuh nuansa budaya Gorontalo.
BalasHapus