Minggu, 31 Agustus 2014

Dua Sajak di Harian Media Indonesia (3/8/14)

Sebut Saja Namanya Mawar

/1/

Sebut saja namanya Mawar
yang remuk seusai badai besar
Batangnya telah berhenti tumbuh, tapi belum tumbang
Mahkotanya terpenggal, lalu terbang, lalu hilang
Mungkin tertujah petir, atau terjatuh dalam pasir.

Ia enggan mendongak, sebab langit membuat ia
ingat pada sosok-sosok tak berwajah tapi congkak
yang telah bergiliran melemparkannya ke dalam api
Ia memilih merunduk, memunguti duri-durinya
yang rontok berserak di lekuk kontur bumi

Ia mengumpulkan dua belas batang duri
cukup untuk menikam kemarahannya sendiri

/2/

Ia ingat,  mereka liat seperti urat-urat tambang
yang memilin, mencekik, dan mengikat
sementara tubuhnya begitu muda
amat mudah lumat seperti serangga.

Sebut saja namanya Serangga
yang sesungguhnya diurnal
namun terjebak pada malam sial
Malam seperti lengket minyak
yang menyiram sayap-sayapnya
hingga tak lagi bisa bergetar
Tak lagi bisa berderak.

Dan dua belas sosok tanpa wajah itu
bergiliran melemparkan ia ke dalam api.

/3/

Sebut saja namanya Arang
Atau dengan nama lain
: Tubuh Api yang Sedang Mati Suri
Dia seperti mencintai kebencian
Yang terlatih dalam detak dendam
Dan terbaca dalam gurat geram.

Dia adalah arang yang terlihat dingin dan mati
diam-diam menyusun pembalasan meski tanpa strategi.

Dua orang telah dikenali, tapi tak bersedia menyerahkan diri
Sementara yang lain menghilang dalam catatan polisi.

/4/

Ia, yang namanya disamarkan koran dan televisi,
Telah jatuh pingsan berkali-kali
Sebab tak kuat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Tentang segala hal yang terjadi
di malam-malam penyekapan

Sebut saja namanya Mawar
mahkotanya tertukar dengan cadar
yang basah oleh urai air mata
Ia sulit bicara dan mengingat,
Jika yang dibicarakan adalah sakit
bila yang diingat adalah nyeri berlipat-lipat

Ia dingin tapi bergolak
Ia beku namun pendendam laksana hantu.


Tentang Rambut Keriting Kita

Kota sedang terpanggang
saat aku berteduh di bawah matamu yang rindang
dan seluruh lekuk liku sungai-sungai
yang membelah rambutku memasrahkan diri
pada telapak tanganmu yang lapang.

“Rambut kakak keriting rupanya,”
ucapmu sambil mengusap ubun-ubunku.
“Persis semak-semak di halaman belakang rumah saya.
Persis jelatang berduri yang pernah melukai kaki saya
entah dari mana datangnya.
Seingat saya mereka mulai tumbuh selang sehari
setelah saya menguburkan bangkai si belang,
kucing kesayangan saya, tepat di tempat yang sama.
Setelah itu mereka menjadi raja-raja
yang berebut wilayah untuk dijajah.
Kakak, adakah seekor kucing belang sedang terkubur
di akar-akar rambut ini?”

Aku menarik nafas panjang
sementara di luar matahari semakin garang.
Sungai-sungai mengering dan kota ini perlahan mengerang.
Tapi tak lama, mendung pun menggantung.
Ah, tak ada yang lebih fana dari hidup dan cuaca yang tanggung

“Rambutmu juga adik, tak kalah keritingnya.
Seperti gelombang lingsir di landai pantai
yang kadang tenang kadang meradang.
Aku pernah menjumpai pantai semacam itu,
yang kata penduduk setempat
dihuni dewi berambut ular
yang senang menghadang nelayan
lalu mengutuknya jadi karang.
Dan kata penduduk pula,
dewi itu sedang menunggu kekasihnya
yang tak pernah pulang.
Katakan padaku adik, di pangkal helai-helai rambutmu,
adakah seorang dewi sedang menunggu?"

Senja pun mampir semakin hampir,
sebagian tubuhnya yang menolak pudar
menerobos ventilasi udara
lantas bermain-main di ujung rambut-rambut kita.
Ah, rasanya tak ada yang lebih kekanakkan ketimbang waktu
dan sepasang kekasih yang bermain rindu.

Matamu seperti jendela
tempat seorang dewi berambut ular
mengintip seekor kucing belang
yang sedang mencakar pohon besar di mataku
Dan kita terdiam lama sekali,
sebelum akhirnya kita saling menyeberangi
rambut satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar