Sebut
Saja Namanya Mawar
/1/
Sebut
saja namanya Mawar
yang
remuk seusai badai besar
Batangnya
telah berhenti tumbuh, tapi belum tumbang
Mahkotanya
terpenggal, lalu terbang, lalu hilang
Mungkin
tertujah petir, atau terjatuh dalam pasir.
Ia
enggan mendongak, sebab langit membuat ia
ingat
pada sosok-sosok tak berwajah tapi congkak
Ia
memilih merunduk, memunguti duri-durinya
yang
rontok berserak di lekuk kontur bumi
Ia
mengumpulkan dua belas batang duri
cukup
untuk menikam kemarahannya sendiri
/2/
Ia
ingat, mereka liat seperti urat-urat
tambang
yang
memilin, mencekik, dan mengikat
sementara
tubuhnya begitu muda
amat
mudah lumat seperti serangga.
Sebut
saja namanya Serangga
yang
sesungguhnya diurnal
namun
terjebak pada malam sial
Malam
seperti lengket minyak
yang
menyiram sayap-sayapnya
hingga
tak lagi bisa bergetar
Tak
lagi bisa berderak.
Dan
dua belas sosok tanpa wajah itu
bergiliran
melemparkan ia ke dalam api.
/3/
Sebut
saja namanya Arang
Atau
dengan nama lain
:
Tubuh Api yang Sedang Mati Suri
Dia
seperti mencintai kebencian
Yang
terlatih dalam detak dendam
Dan
terbaca dalam gurat geram.
Dia
adalah arang yang terlihat dingin dan mati
diam-diam
menyusun pembalasan meski tanpa strategi.
Dua
orang telah dikenali, tapi tak bersedia menyerahkan diri
Sementara
yang lain menghilang dalam catatan polisi.
/4/
Ia,
yang namanya disamarkan koran dan televisi,
Telah
jatuh pingsan berkali-kali
Sebab
tak kuat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Tentang
segala hal yang terjadi
di
malam-malam penyekapan
Sebut
saja namanya Mawar
mahkotanya
tertukar dengan cadar
yang
basah oleh urai air mata
Ia
sulit bicara dan mengingat,
Jika
yang dibicarakan adalah sakit
bila
yang diingat adalah nyeri berlipat-lipat
Ia
dingin tapi bergolak
Ia
beku namun pendendam laksana hantu.
Tentang
Rambut Keriting Kita
Kota
sedang terpanggang
saat
aku berteduh di bawah matamu yang rindang
dan
seluruh lekuk liku sungai-sungai
yang
membelah rambutku memasrahkan diri
pada
telapak tanganmu yang lapang.
“Rambut
kakak keriting rupanya,”
ucapmu
sambil mengusap ubun-ubunku.
“Persis
semak-semak di halaman belakang rumah saya.
Persis
jelatang berduri yang pernah melukai kaki saya
entah
dari mana datangnya.
Seingat
saya mereka mulai tumbuh selang sehari
setelah
saya menguburkan bangkai si belang,
kucing
kesayangan saya, tepat di tempat yang sama.
Setelah
itu mereka menjadi raja-raja
yang
berebut wilayah untuk dijajah.
Kakak,
adakah seekor kucing belang sedang terkubur
di
akar-akar rambut ini?”
Aku
menarik nafas panjang
sementara
di luar matahari semakin garang.
Sungai-sungai
mengering dan kota ini perlahan mengerang.
Tapi
tak lama, mendung pun menggantung.
Ah,
tak ada yang lebih fana dari hidup dan cuaca yang tanggung
“Rambutmu
juga adik, tak kalah keritingnya.
Seperti
gelombang lingsir di landai pantai
yang
kadang tenang kadang meradang.
Aku
pernah menjumpai pantai semacam itu,
yang
kata penduduk setempat
dihuni
dewi berambut ular
yang
senang menghadang nelayan
lalu
mengutuknya jadi karang.
Dan
kata penduduk pula,
dewi
itu sedang menunggu kekasihnya
yang
tak pernah pulang.
Katakan
padaku adik, di pangkal helai-helai rambutmu,
adakah
seorang dewi sedang menunggu?"
Senja
pun mampir semakin hampir,
sebagian
tubuhnya yang menolak pudar
menerobos
ventilasi udara
lantas
bermain-main di ujung rambut-rambut kita.
Ah,
rasanya tak ada yang lebih kekanakkan ketimbang waktu
dan
sepasang kekasih yang bermain rindu.
Matamu
seperti jendela
tempat
seorang dewi berambut ular
mengintip
seekor kucing belang
yang
sedang mencakar pohon besar di mataku
Dan
kita terdiam lama sekali,
sebelum
akhirnya kita saling menyeberangi
rambut satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar