Mabuk Bersama Li Bai
Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tak pernah kau undang saya ke bilikmu
Tapi saya ingin berjalan bersamamu
Mabuk bersamamu
Kita jatuh ke selokan saling menimpa
Lalu menertawakan jubah kita yang basah sampai ke dada
Tambah terus araknya, Tuan
Arak murahan tapi lumayan
Seguci lagi buat menyucikan jiwa dari kemuraman
Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tapi biarkan saya berjalan bersamamu
Agar kau tidak sendirian menatap burung-burung,
Gunung, dan awan yang sendirian itu
Ah, siapa yang sendirian?
Saya punya bayang-bayang.
Jika Tiada Batas
Selepas batas adalah tiada
niscaya tak mungkin mencari sesiapa
Pencarian adalah perjalanan tanpa henti sia-sia
bahkan perhentian, andaipun ada, tak boleh terlalu lama
Karena terlalu lama dan teramat sebentar tak akan
tergurat dalam segala kamus kosakata, semua bahasa
Dunia tanpa batas adalah perkara yang lucu
seperti seorang tua yang meraba-raba masa lalu
Dan tanpa batas, seperti apakah menjadi tua itu?
umur tak terpermanai dan kita tak bakal mati
Mungkin masih akan ada makam
tapi tak berisi jasad mendekam
tak ada apa-apa selain nisan
bertulis epitaf panjang tanpa tanggal kematian
Tanggal, bulan, tahun dan berabad-abad
kita didera keabadian menjemukan
Tak akan mungkin menghitung jumlah daun pada dahan,
dahan pada pohon, pohon pada hutan
dan berapa liter air disesap hutan dalam sehari
Pula bagaimana sehari dalam dunia tanpa batas itu?
apakah siang selamanya, ataukah malam yang tak terhingga
Tanpa batas, dunia menjadi tak sempurna.
Sebujur laut mesti berbatas walaupun selesa
Sepimu harus berbatas agar rasa sakitnya sempurna.
Kaleng Mentega dan Kecoa
Setelah secuil mentega penghabisan meninggalkannya,
kaleng itu kemudian menyepi dan menjadi pertapa.
"Kosong adalah isi, isi adalah tiada," ucapnya
dalam bahasa kaleng menirukan Budha.
"Kaleng mentega bukanlah mentega
kaleng bersayap bukanlah kecoa
dan kecoa yang terbuat dari logam
tak bisa menjadi genta di menara gereja."
Kaleng yang tak bergizi tapi saleh itu
telah menjadi lebih pertapa dan bijaksana.
Sementara, di salah satu sudut dinding,
seekor kecoa sedang mencibir si kaleng
sambil memamerkan sayapnya.
Tiga puisi di atas ditulis antara enam dan tujuh tahun lalu. Terbit di Rubrik Hari Puisi Koran Indopos Sabtu (080314)
Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tak pernah kau undang saya ke bilikmu
Tapi saya ingin berjalan bersamamu
Mabuk bersamamu
Kita jatuh ke selokan saling menimpa
Lalu menertawakan jubah kita yang basah sampai ke dada
Tambah terus araknya, Tuan
Arak murahan tapi lumayan
Seguci lagi buat menyucikan jiwa dari kemuraman
Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tapi biarkan saya berjalan bersamamu
Agar kau tidak sendirian menatap burung-burung,
Gunung, dan awan yang sendirian itu
Ah, siapa yang sendirian?
Saya punya bayang-bayang.
Jika Tiada Batas
Selepas batas adalah tiada
niscaya tak mungkin mencari sesiapa
Pencarian adalah perjalanan tanpa henti sia-sia
bahkan perhentian, andaipun ada, tak boleh terlalu lama
Karena terlalu lama dan teramat sebentar tak akan
tergurat dalam segala kamus kosakata, semua bahasa
Dunia tanpa batas adalah perkara yang lucu
seperti seorang tua yang meraba-raba masa lalu
Dan tanpa batas, seperti apakah menjadi tua itu?
umur tak terpermanai dan kita tak bakal mati
Mungkin masih akan ada makam
tapi tak berisi jasad mendekam
tak ada apa-apa selain nisan
bertulis epitaf panjang tanpa tanggal kematian
Tanggal, bulan, tahun dan berabad-abad
kita didera keabadian menjemukan
Tak akan mungkin menghitung jumlah daun pada dahan,
dahan pada pohon, pohon pada hutan
dan berapa liter air disesap hutan dalam sehari
Pula bagaimana sehari dalam dunia tanpa batas itu?
apakah siang selamanya, ataukah malam yang tak terhingga
Tanpa batas, dunia menjadi tak sempurna.
Sebujur laut mesti berbatas walaupun selesa
Sepimu harus berbatas agar rasa sakitnya sempurna.
Kaleng Mentega dan Kecoa
Setelah secuil mentega penghabisan meninggalkannya,
kaleng itu kemudian menyepi dan menjadi pertapa.
"Kosong adalah isi, isi adalah tiada," ucapnya
dalam bahasa kaleng menirukan Budha.
"Kaleng mentega bukanlah mentega
kaleng bersayap bukanlah kecoa
dan kecoa yang terbuat dari logam
tak bisa menjadi genta di menara gereja."
Kaleng yang tak bergizi tapi saleh itu
telah menjadi lebih pertapa dan bijaksana.
Sementara, di salah satu sudut dinding,
seekor kecoa sedang mencibir si kaleng
sambil memamerkan sayapnya.
Tiga puisi di atas ditulis antara enam dan tujuh tahun lalu. Terbit di Rubrik Hari Puisi Koran Indopos Sabtu (080314)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar