Kamis, 02 Oktober 2014

Tentang Rasa Takut dan Tamasya di Kamar 101

                 Saya ingin mengajak Anda, para pembaca, tamasya sejenak ke sebuah ruangan. Sebutlah bilik persegi yang cukup lapang, namun dingin dan kelam. Dinding-dindingnya terbuat dari baja, tanpa jendela dan kedap suara. Anda duduk di satu kursi yang nyaris tersandar pada sebidang dinding. Sebuah meja teronggok kurang lebih lima meter jauhnya di hadapan Anda.      
                Seseorang kemudian masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu. Ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Ketika Anda bertanya, apa isi bungkusan tersebut? Ia menjawab: isinya adalah ketakutan terbesar Anda.

Ayunan dan Salvo



Ayunan

Semula
karena aku tak bertemu hutan
Karena kayu telah rela mengabu demi menyulut hidup tungku-tungku
Akar, belukar, perdu menjelma dipan, tikar, dan selimut lampu
aku bertanya, dengan bahan apa akan aku buat ayunan itu?

Semula
karena aku mengangankanmu diapung angin
dari hulu ke hulu, pintu ke pintu, rindu ke rindu
karena membayangkan punggungmu adalah layangan lepas
tempat menulis sajak-sajak ringkas
Aku memutuskan membelah kertas
Bakal ayunan buat tubuhmu yang bebas

Semula
karena pikirku ayunan mesti bertemali
Karena temali paling lembut adalah sayap-sayap peri
Sementara peri-peri masih sibuk belajar origami
Melipat angsa, menggunting telaga
Merakit sayap yang ujungnya bisa dikuncup-buka
Maka aku pilih memintal  temali
yang akan memilih gayutannya sendiri

Mungil, ringan, dan bersayap seperti peri
Ayunan telah sedia berlayar
menuju negeri jutaan origami
Naik dan berpeganganlah pada temali
Biar aku mendorongmu dari buritan

Berayun, berayun, dan tubuhmu pun menjelma daun.



Salvo

Semua jadi biru. Calon nisan, cuaca, dan keheningan.
Suara sekelompok vokalia telah berhenti sebelum lenyap
dalam notasi. Juga ada mereka, kerabat dan keluarga
yang ditinggalkan.

Pidato telah usai dibacakan saat sederet pasukan maju
dan melepas tujuh kali tembakan sajak ke udara.
Semua jadi biru sejak saat itu.

Di dalam peti, ada lelaki yang terpejam. Bahu kiri
menyandang senapan, bahu kanan memikul kitab amal.
Sementara di atas sana, seorang janda menangis
karena sumpah prajurit tak membuatnya kekal.

Kemana pergi para pemberani jika di bumi, perdamaian
adalah ilusi. Dan di langit, gencatan senjata masih jadi nisbi.

2014

- Terbit di Suratkabar Suara NTB edisi Minggu (21/09/14)